PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENGURANGAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL[1]
Oleh :
Berry Nahdian Forqan[2]
Pendahuluan
Dalam paradigma konstitusi, pengelolaan ekonomi akan memanfaatkan segala sumber daya nasional yang dimiliki. Baik sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan lain-lain yang dimiliki untuk diprioritaskan bagi kepentingan nasional untuk mewujudkan negara yang maju, mandiri dan berdaya saing tinggi. Sekarang, tatanan global-lah yang menjadi referensi dalam pengelolaan ekonomi agar kita mendapatkan manfaatnya. Padahal semua negara tetap berpegang pada kepentingan nasional dalam jagat raya kompetisi global. Berbagai perjanjian perdagangan dan investasi di tingkat internasional maupun regional, justeru merugikan rakyat dan kepentingan nasional. Kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi dalam pertemuan G-20, perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN Free Trade Area, telah melicinkan jalan ekspansi modal dalam menguasai alat-alat produksi nasional.
Dalam perspektif negara yang telah menyatakan merdeka seperti Indonesia. Sepertinya semua keputusannya adalah berangkat dari kebutuhan kemandirian sebuah bangsa dan kemajuan negerinya. Tetapi sayangnya untuk bidang perdagangan, pertanian, putaran uang di pasar modal dan aneka pendekatan skema investasi melalui industrialisasi sektor pengelolaan air, pangan, energi, mineral, hutan, adalah tidak murni dilakukan yang makin membuat indikator negeri yang merdeka. Justru malah sebaliknya!
Siklus kehidupan manusia Indonesia saat ini tak bisa dilepaskan dari hantaman bencana ekologis yang bermunculan setiap harinya. Dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana[3]. Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana dengan berbagai jenis. Fakta krisis dan bencana diatas menunjukan bahwa Indonesia dalam situasi Darurat Ekologis[4].
Namun, karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal bangsa, maka telah terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara, minyak mentah, gas dan tambang lainnya hanya sekadar komoditas yang dapat dikuasai dan diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing. Sebagai komoditas non strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi keuntungan. Seolah manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa, penciptaan lapangan kerja meskipun bukan pekerja ahli atau dari pembayaran pajak dan royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi saat ini, bagian pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh pihak swasta.
Tingginya laju eksploitasi sumber daya alam, yang disertai dengan tingkat kerusakan lingkungan dan konflik sosial tidak sebanding dengan keuntungan finansial yang diterima oleh negara. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) yang terdiri dari penerimaan Minyak bumi dan gas bumi (migas) dan Non Migas seperti pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi. Penerimaan SDA pada tahun 2009 sebesar Rp139,0 triliun misalnya, hanya memberikan kontribusi sekitar 16% dari total penerimaan negara sebesar Rp871 triliun.
Isu lingkungan sesungguhnya masih ditempatkan sebagai “pemadam kebakaran” di dalam lima agenda prioritas pemerintah tahun 2010[5]. Pemerintah gagal menjangkau akar masalah atau penyebab dari kerusakan lingkungan seperti bencana banjir, kebakaran hutan, pencemaran, dan dampak perubahan iklim. Padahal, semua hal yang disebut di atas merupakan akibat dari kesalahan sistem kapitalisme dalam tata kelola kekayaan alam yang berlangsung dalam model yang primitif, menjual dengan cepat dan murah kekayaan alam untuk kebutuhan pasar global. Laju penggundulan hutan alam, jutaan ton limbah tailing yang dibuang ke laut oleh perusahaan pertambangan, illegal fishing, ekspansi perkebunan besar, serta konversi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau di perkotaan, telah menjadi sumber bencana yang tertanam dalam sistem kapitalisme yang gagal dituntaskan.
Misalnya isu deforestasi yang dianggap sebagai penyumbang emisi karbon global, dimana Indonesia mengakui telah kehilangan 1,17 juta hektar setiap tahun, gagal menemukan jalan keluar yang nyata. Upaya pengkambinghitaman terhadap petani-petani subsisten sebagai perusak hutan tidak bisa dihindarkan. Sementara, program anti deforestasi tidak pernah diarahkan kepada konversi hutan dalam industrialisasi di sektor perkebunan (terutama kelapa sawit). Di lingkup global, Indonesia bahkan memilih tergabung dalam skema jalan keluar yang terintegrasi dalam logika pasar, yaitu dengan menerapkan ide carbon trade, carbon offsets, dan carbon tax.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan
Pemerintah Daerah dalam kapasitasnya sebagai pemangku kepentingan dan pengambil keputusan di tingkat lokal, berperan dalam menentukan kondisi lingkungan di daerah. Dimana sampai saat ini laju deforestasi banyak disebabkan oleh kebijakan pemberian ijin investasi disektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri.
Dalam memperlihatkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, tidak jarang yang dimunculkan hanya pada kegiatan-kegiatan non perlindungan kawasan dan non pelestarian lingkungan seperti program-program menjelang penilaian Adipura. Kegiatan ini sama sekali jauh dari problem pokok kerusakan lingkungan, pembangunan yang dilakukan tidak memperhatikan keberlanjutan ekologis dan pembangunan yang berkeadilan antar generasi.
Pembangunan yang berwawasan lingkungan, hendaknya memperhatikan pentingnya mempertahankan kawasan ekologi genting yang menjadi penyangga bagi sumber-sumber kehidupan.
Lingkungan Hidup Indonesia terancam collapse![6]. Alam tidak lagi bisa berfungsi menyediakan jasa pelayanannya, krisis menjadi makanan sehari-hari yang harus ditanggung oleh rakyat kebanyakan, bencana terjadi dimana-mana. Pada tahun 2009, sebanyak 1.713 total bencana telah terjadi di Indonesia. Diantara aset yang hilang yakni korban meninggal kurang lebih 1.940 orang, kerusakan rumah sekitar 10.576 (WALHI, diolah dari berbagai sumber). Situasi di tahun 2010 tidak bertambah baik, menjelang satu tahun pemerintahan SBY-Boediono, bangsa ini kembali diwarnai oleh berbagai peristiwa bencana secara berturut-turut. Sedikitnya 71 Kabupaten/Kota di Indonesia dilanda banjir dengan intensitas yang terus berulang. Bahkan di Ibukota negara, dari Januari-September 2010, telah terjadi 23 kali peristiwa banjir.
Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup di Indonesia yang terjadi hingga hari ini semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan yang terjadi, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung dalam kalkulasi nilai pembangunan, apalagi kesejahteraan yang selama ini menjadi jualan pengurus negara. Padahal justru sebaliknya, kemiskinan muncul akibat lingkungan hidup rusak, dan alam tidak bisa lagi menyediakan jasa layanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rakyat juga dibiarkan untuk mengalami kemiskinan secara berkelanjutan.
Pembangunan dan Dampaknya Bagi Pemanasan Global
Selain terikat sebagai negara pihak dalam UNFCCC, Indonesia merupakan negara pihak terhadap konvensi internasional hak asasi manusia terutama konvensi hak sipil dan politik (Sipol)[7], hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW)[8], penghapusan diskriminasi rasial (ICERD)[9], konvensi keanekaragaman hayati. Dalam Sidang Mejelis Umum PBB 13 September 2007, delegasi pemerintah Indonesia juga voting mendukung pengesahaan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Keterikatan Indonesia dengan berbagai konvenan yang ada, seyogyanya dalam penerapan model pembangunannya Indonesia menjadikan konvensi-konvensi dan perjanjian International tersebut sebagai salah satu landasan tindak dalam pengambilan keputusan. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan hal terpenting dalam menentukan sebuah kebijakan, HAM tidak semata-mata dinilai pada tindakan kekerasan fisik saja, melainkan juga pada pengabaian, pengingkaran dan penistaan atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.
Di Indonesia, berdasarkan pengalaman di sektor sawit sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia telah gagal untuk mengamankan daerah dengan nilai konservasi tinggi (NKT) yang terletak dalam konsesi mereka karena daerah dengan NKT yang belum dibuka dan ditanami yang terletak dalam konsesi mereka telah dialokasikan oleh pejabat setempat kepada perusahaan lain untuk dibuka. Indonesia belum memiliki kerangka kerja hukum dan prosedur yang memadai untuk melindungi daerah-daerah dengan nilai konservasi tinggi khususnya bagi sosial dan budaya masyarakat setempat.[10] Studi tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya reformasi hukum dan prosedural agar terjadi perlindungan efektif terhadap daerah dengan NKT di Indonesia. Untuk itu perlu menjajaki kendala dan peluang reformasi hukum yang dapat dilakukan untuk mengamankan daerah dengan nilai konservasi tinggi lewat pelibatan multi stakeholder.
Akibat pola dan model pembangunan yang tidak mengindahkan hak ecosoc, dan keberlanjutan ekologislah yang melahirkan kondisi perubahan iklim global yang terjadi saat ini. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat 26.7 juta hektar lahan telah dialokasikan dalam rencana tata ruang kabupaten dan propinsi untuk perluasan dan pembangunan kelapa sawit. Prosedur rencana tata ruang tidak berupaya untuk mengidentifikasi dan melindungi daerah dengan nilai konservasi tinggi, tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah yang menjadi wilayah adat masyarakat adat atau wilayah kelola adat dan tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah dengan “nilai karbon tinggi”. Selain itu, proses perencanaan tata ruang di Indonesia menggunakan definisi lahan “terdegradasi” dan “hutan konversi” yang tidak jelas dalam pembukaan hutan dan lahan sehingga sering kali membuka hutan atau lahan yang dikelola atau dimiliki masyarakat hukum adat. Lebih jauh lagi, pemerintah mengizinkan pemanfaatan gambut dalam rencana tata ruang Indonesia saat ini dalam kenyataannya mendorong penanaman kelapa sawit di lahan gambut, dan menimbulkan emisi CO2 yang besar (Permentan No.14/2009).
Pembukaan hutan yang meluas, pembakaran hutan dan pembukaan dan pengeringan drainase lahan gambut merupakan kontributor utama perubahan iklim global di Indonesia (terdapat perkiraan yang berbeda-beda namun umumnya menunjukkan angka 16% sampai 30% emisi gas rumah kaca berasal dari perubahan tata guna lahan). Ekspansi sektor perkebunan sawit besar-besaran beberapa tahun belakangan ini telah menjadi salah satu penyebab utama emisi ini.
Di Indonesia, perluasan perkebunan kelapa sawit umumnya terjadi di daerah yang digolongkan sebagai hutan dan antara 1/3 dan setengah dari rencana perluasan kelapa sawit akan dilakukan di lahan gambut dalam. Sampai 80% emisi CO2 Indonesia berasal dari perubahan peruntukan lahan, dan konversi hutan dan drainase lahan gambut merupakan penyebab utamanya. Tidak ada kontrol prosedural dan hukum yang memadai untuk mengendalikan perluasan ini dan kebijakan nasional sendiri pada hakikatnya bertentangan, di satu sisi berpihak pada perluasan industri kehutanan, industri ekstraktif dan perkebunan kelapa sawit secara cepat untuk keperluan bahan bakar nabati dan minyak goreng, di sisi lain terikat pada komitmen untuk mengurangi emisi CO2e secara signifikan.
Pemberian ijin berlebih dengan mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD) juga terjadi di sektor pertambangan, dimana banyak sekali kawasan perijinan pertambangan yang mengorbankan kawasan hutan serta tidak mengindahkan keadilan antar generasi. Sementara itu, sebagai dampak dari hilangnya fungsi ekologi suatu kawasan, maka pelepasan emisi karbon tidak dapat dihindari lagi. Model pembangunan yang sangat tergantung pada ekstraksi sumberdaya alam saat ini, sudah saatnya digantikan dengan model pembangunan baru yang jauh lebih ramah lingkungan dan berkesinambungan misal mendorong produktivitas rakyat pada sektor-sektor pertanian rakyat.
Peran Kepala Daerah dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup
Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pertimbangannya menyatakan pada huruf (a) bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan selanjutnya pada huruf (b) menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dua poin pertimbangan diatas sangat jelas sekali mendudukkan bahwa kewenangan yang luas dari pemerintah daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban yang mesti dijalankan yang dalam penyelenggaraannya diarahkan untuk mempercepat terwujudkan kesejahteraan masyarakat malalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi dan pemerataan. Artinya otonomi daerah mesti diartikan sebagai suatu mekanisme demokrasi yang memberikan ruang terhadap akses dan kontrol rakyat terhadap semua kebijakan pemerintah termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dan menempatkan rakyat sebagai satu-satunya pemilik kedaulatan atas negara ini dimana pemerintah daerah hanyalah penyelenggara pemerintahan di daerah yang menjalankan mandat dari rakyatnya.
Sementara itu lebih jauh diatur dalam konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,” pasal 33 ayat 2 : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” serta ayat (4) berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional'. Artinya bahwa pemerintah dalam hal ini juga pemerintah daerah sebagai pelaksana negara bertanggungjawab untuk memastikan hak warga negaranya untuk mendapatkan pelayanan dan kondisi lingkungan hidup yang baik. Dan penguasaan oleh negara mesti didudukkan sebagai suatu mekanisme untuk menjamin bahwa pemanfaatan aset-aset negara digunakan dengan prinsip kebersamaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.
Ketentuan-ketentuan di atas merupakan jaminan konstitusional bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam. Karena itu sudah selayaknya hal ini menjadi landasan dalam setiap perencanaan kebijakan di bidang lingkungan dan sumber daya alam di daerah. Yaitu memastikan peran konstitusional negara dalam menguasai kekayaan alam dengan tujuan menjamin agar kemakmuran rakyat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang perorang. Selain tentu mesti dapat menjamin kelestarian lingkungan agar alam dapat terus-menerus mendukung keberlangsungan tatanan kehidupan yang ada.
Dengan demikian, tugas dan wewenang kepala dearah sebagaimana tertuang dalam pasal 25 UU nomor 32 tahun 2004 yang meliputi a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan, mesti diarahkan untuk memenuhi mandat konstitusi untuk menjamin hak-hak dasar warga negara demi terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Lebih spesifik lagi UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 63 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/ kota bertugas dan berwenang untuk :
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan;
i. melaksanakan standar pelayanan minimal;
j. melaksanakan kebijakan mengenai cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hokum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
k. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
l. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
n. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
o. melakukan penegakan hokum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk melakukan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkundan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan (pasal 13), memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam setiap penyusunan peraturan daerah dan ketentuan kebijakan lainnya (pasal 44), mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiaya kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan program pembangunan yang berwawasan lingkungan (pasal 45), dan alokasi untuk pemulihan lingkungan hidup yang telah tercemar dan atau rusak.
Penutup
Peran kepala daerah di era otonomi daerah yang memberikan wewenang yang cukup besar kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota saat ini menjadi sangat signifikan pengaruhnya terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berpengaruh kepada kondisi lingkungan hidup di suatu daerah/ wilayah. Tentu kewenangan ini mesti dibarengi dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban sesuai dengan amanat konstitusi yang menempatkan kepala daerah sebagai perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat untuk memastikan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup diarahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan hidup maka kewenangan kepala daerah yang tertuang dalam UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mesti dibarengi pelaksanaannya dengan penerapan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sehingga keinginan untuk mewujudkan pembangunan yang bewawasan lingkungan, berkeadilan dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
[1] Disampaikan pada kegiatan “Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah bagi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota”, Selasa, 29-03-2011, Kalibata, Jakarta Selatan
[2] Direktur Eksekutif Nasional WALHI
[3] Padang, matanews.com Jumat, 26 Februari 2010 at 10:56. BNPB: 151.277 Korban Bencana Selama 1997-2009. http://matanews.com/2010/02/26/bnpb-151-277-korban-bencana-selama-1997-2009/
[4] Darurat ekologis adalah kondisi yang menuntut penanganan segera atas adanya ancaman dari kerusakan ekologi yang terjadi.
[5] Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010 yaitu “Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat,” pemerintah mengusung lima program prioritas pembangunan, yaitu: (1) pemeliharaan kesejahteraan rakyat, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial; (2) peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia; (3) pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan keamanan nasional; (4) pemulihan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi; dan (5) peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim.
[6] Dalam studi Java Collapse yang telah dilakukan sebelumnya oleh WALHI (2007), collapse diartikan sebagai proses penurunan kualitas manusia dan kemampuan alam yang diakibatkan oleh interaksi antara manusia dan alam yang saling memangsa (predasi) yang digunakan oleh penguasa dan pemodal untuk melanggengkan kekuasannya baik secara ekonomi maupun politik. inilah yang kemudian berdampak pada krisis, dan pada tahap berikutnya krisis yang terjadi yang terus berulang dan meluas dengan durasi waktu yang lebih panjang baik secara kuantitas maupun kualitas telah berimplikasi pada penurunan bertahan hidup rakyat, ketersingkiran rakyat dari ruang hidupnya bahkan berujung pada kematian.
[7] "With reference to Article 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights, the Government of the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of self-determination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states."
[8] "The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provisions of article 29, paragraph 1 of this Convention and takes the position that any dispute relating to the interpretation or application of the Convention may only be submitted to arbitration or to the International Court of Justice with the agreement of all the parties to the dispute.“ (CEDAW)
[9] "The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 22 and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the [Convention] which cannot be settled through the channel provided for in the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all the parties to the dispute.“ (ICERD)
[10] Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and the RSPO.......: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA, SawitWatch and WildAsia, Moreton-in-Marsh.
No comments:
Post a Comment