Tuesday, August 20, 2013

Paradoks Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Radar Banjarmasin

Wednesday, April 24, 2013

Refleksi Kritis 2012: Ketidakadilan itu juga bernama “mati lampu”. (Dimuat di Kolom Opini RadarBanjarmasin)


Sumberdaya energi merupakan kebutuhan pokok dan merupakan komponen mutlak untuk membangun sebuah peradaban masyarakat suatu bangsa ataupun dunia saat ini.  Ketiadaan sumberdaya energi atau ketidakmampuan suatu masyarakat atau negara  dalam menyediakan sumberdaya energi mengakibatkan lemahnya kemampuan  suatu masyarakat atau negara tersebut dalam membangun peradabannya.  Bahkan bisa berujung pada terjadinya krisis multidimensi yaitu krisis di segala bidang kehidupan.
Kalimantan Selatan, salah satu propinsi yang kaya akan sumber bahan baku energi berupa batubara dan potensi alam lainnya namun dalam pemenuhan energi listrik masih belum mampu memenuhi kebutuhan warganya baik secara kuantitas maupun kualitasnya.  Menurut Dinas Pertambangan dan Energi Kalimantan Selatan sampai tahun 2012 masih terdapat 162 desa yang belum dijangkau oleh aliran listrik dari Perusahaan Litrik Negara (PLN).  Bagi penduduk yang sudah mendapatkan pelayanan listrik dari PLN mesti sabar mengurut dada karena seringnya pemadaman listrik alias “mati lampu”. Sehingga menjadi wajar belakangan ini sebagian warga Kalimantan Selatan menyerukan boikot bayar tagihan listrik, melakukan aksi, menggalang koin untuk pembangkit independen dan meminta Pemerintah Daerah pro aktif turut mendesak PLN dan Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan persoalan “mati lampu” ini atau fasilitasi pemenuhan energi listrik secara mandiri bagi daerah.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Bukankah ratusan juta ton setiap tahunnya batubara dari daerah ini dieksploitasi? Bukankah kita memiliki sumberdaya energi lainnya berupa potensi gas, tenaga air, matahari, angin, dan lainnya. Sangat disayangkan jika sampai saat ini kita tidak mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi yang ada tersebut. Apa yang salah dalam pengelolaan sumberdaya energi kita?
Ternyata batubara Kalsel yang puluhan bahkan ratusan juta ton dieksploitasi setiap tahunnya hanya sedikit sekali yang digunakan untuk kebutuhan pemenuhan energi listrik di daerah ini. Hasil penelitian WALHI Kalsel pada tahun 2008 menyebutkan dari total produksi batubara Kalimantan Selatan hanya 1,69% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi pembangkit listrik di Kalsel, selebihnya 70% di ekspor dan kurang lebih 28% untuk kebutuhan Jawa- Bali.
Pembangkit Listrik Tenga Air (PLTA) Riam Kanan yang listriknya digunakan untuk menerangi wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah namun tidak mampu (baca: tidak mau) memberikan layanan jangkauan listrik kepada masyarakat yang berada di wilayah hulu bendungan yang notabene adalah warga yang dikorbankan untuk pembangunan PLTA tersebut.
Disisi lainnya, sumberdaya energi berupa gas alam, tenaga air, matahari dan lainnya belum dimanfaatkan secara optimal. Seperti potensi tenaga air yang berlimpah dimana terdapat ratusan anak sungai di kawasan pegunungan meratus yang jika dimanfaatkan melalui teknologi mikrohidro akan bisa menerangi ratusan desa/kampung yang ada disana.
Sementara itu pemenuhan energi listrik di pulau Jawa dan kota-kota besar disana jauh lebih baik dibanding dengan pemenuhan energi listrik di pulau lainnya termasuk juga Kalimantan Selatan. Hal ini memperlihatkan ketimpangan yang begitu nyata dimana Kalimantan Selatan sebagai salah satu penghasil bahan baku sumberdaya energi terbesar di negari ini justru tidak mendapatkan porsi pemenuhan energi listrik yang memadai.
Dari gambaran diatas menggambarkan bahwa persoalan krisis listrik alias “mati lampu” bukanlah karena ketiadaan sumberdaya energi di suatu wilayah atau ketidak-mampuan membangun pembangkit dan infrastrukturnhya namun lebih jauh karena praktik ketidakadilan yang dilakukan melalui politik pasar bebas yang menyebabkan terjadinya ketimpangan tata kuasa, tata produksi dan tata konsumsinya.  Sehingga sumberdaya energi bukan mengalir untuk memenuhi kebutuhan warga negara secara adil namun malah mengalir jauh ke kota-kota besar dan negeri seberang sana.
Sebenarnya penomena “mati lampu” ini masih bisa diatasi jika pemerintah daerah Kalimantan Selatan dan anggota legislatifnya (baik yg di daerah maupun yang di pusat) lebih pro-aktif bekerja dengan semangat pengabdian dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Namun sangat disayangkan yang terjadi justru mereka sepertinya “mati kutu” ketika dihadapkan pada masalah ini.   Pemerintah daerah selalu berlindung dibalik “kewenangan pusat” dan “kewenganan PLN” seakan-akan tidak ada yang bisa dilakukan dengan kemampuan dan kewenangan sendiri. Anggota legislatif  yang di DPR-RI maupun di DPD-RI bahkan nyaris tidak terdengar suaranya membela kepentingan daerah. Sementara DPRDnya tidak cukup kuat (kurang keberanian) untuk menekan eksekutif baik di daerah maupun di pusat.
Kemudian situasi inilah yang saya kira mendorong mulai bergejolaknya gerakan masyarakat sipil seperti mahasiswa, sebagian kalangan akademisi, LSM, Ormas dan lainnya untuk turun ke jalan. Hanya sayangnya gerakan inipun masih kurang mendapat dukungan luas yang signifikan dari masyarakat umum lainnya.  Mengapa? Kemungkinannya banyak sekali, bisa saja karena kampanye kurang menarik, strateginya kurang tepat, atau jangan-jangan masyarakat kita memang sudah apatis alias “mati rasa”.  Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri yang mesti dijawab di 2013 oleh kelompok gerakan masyarakat sipil sendiri.
Inilah gambaran kondisi Kalimantan Selatan di 2012, rupanya ketidak-adilan itu juga bernama “mati lampu”, dan sayangnya pemerintah daerahnya “mati kutu” sementara warganya sebagian besar sudah “mati rasa”.  Lantas bagaimana dengan 2013? Jika semuanya tidak mau beranjak dari kondisi masing-masing maka bisa dipastikan tidak akan ada perubahan. Namun mengawali 2013 kita tetap mesti optimis, karena masih ada orang-orang dan kelompok-kelompok yang terus bersuara dan bergerak untuk meraih keadilan dan mewujudkan kesejahteraan.  Pilihannya bergabung, untuk perubahan  di 2013 atau tetap larut dalam “mati lampu,” lantas ikutan “mati kutu” dan akhirnya terjebak dalam “mati rasa.”   Gelap gulita atau pilih terang benderang, terserah anda! Selamat menjalani 2013. Selesai.
###