Thursday, December 29, 2011

Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Krisis Ekologi


ABSTRAK

Kebijakan pengelolan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia masih jauh dari amanat konstitusi yaitu sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.  Sistem ekonomi-politik neoliberal kapitalistik yang diakomodasi oleh pemerintah melalui berbagai kebijakannya telah menempatkan sumberdaya alam hanya sebatas komoditi yang diorientasikan untuk memenuhi kepentingan pasar.  Kebijakan ini telah mendorong eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, ketimpangan penguasaan akses dan kontrol, ketidakadilan dan bahkan lebih jauh telah  menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara yang berakibat pada  bencana ekologis dan tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan mereka.
Diperlukan tindakan sistematis untuk memulihkan dan melindungi kondisi ekologis, sosial, ekonomi, politik dan budaya dengan menjamin akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber kehidupan yang adil dan lestari.

PENDAHULUAN[1]
Sumberdaya alam berlimpah yang tidak diperuntukkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat menjadikan negeri kaya raya bernama Indonesia, dieksploitasi untuk kepentingan negara industri maju dan kuasa modal di Indonesia. Seakan menjadi kutukan bagi rakyatnya sendiri, sampai dengan tahun 2010 masih terdapat sekitar 31,6 juta[2] jiwa rakyat negara ini yang terperosok kedalam lubang kemiskinan yang paling dalam. Jutaan keluarga tidak mendapatkan akses air bersih, seiring dengan makin menipisnya daerah resapan air, berkurangnya jumlah DAS, dan pengelolaan sumber daya air yang buruk[3]. Dan masih jutaan anak yang tidak mendapatkan pendidikan,  serta tidak tersedianya layanan kesehatan yang mumpuni dan layak bagi publik.
Eksploitasi terhadap hutan, bahan tambang, migas, perampasan tanah (landgrabing) dan sumberdaya alam lainnya telah menyebabkan kerusakan pada air, tanah dan udara yang berakibat pada  bencana ekologis dan tersingkirnya rakyat dari sumber-sumber kehidupan. 
Untuk itu upaya-upaya pemulihan perlu segera dilakukan secara menyeluruh yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada waktu lagi dan tidak ada pilihan lain, selain memulihkan Indonesia. Agar tujuan bernegara dan berbangsa sebagaimana yang termaktub dalam Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 dapat segera terwujud.
Tujuan perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lain adalah menuju Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur[4]. Merdeka dan berdaulat secara politik untuk menentukan arah Negara Bangsa. Merdeka secara ekonomi yang berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Merdeka secara sosial dan budaya agar memiliki identitas dan jatidiri dan mampu memberikan ruang sebesar-besarnya untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa. Agar ini tercapai maka dibutuhkan i’tikad politik yang meniadakan monopoli dan pengusaan besar-besaran sumberdaya alam oleh swasta dan asing[5], sehingga kesejahteraan benar-benar untuk publik.
Setelah enam puluh lima tahun dari tonggak cita-cita kemerdekaan dikumandangkan, semakin hari bangsa ini semakin jauh dari pencapaian tersebut. Perjuangan yang didapat dengan berdarah-darah seperti telah dikhianiti oleh anak bangsanya sendiri. Negara sebagai penguasa sumberdaya alam, telah gagal mendistribukan hasilnya untuk kepentingan dan kemaslahatan bangsa[6]. Pengelolaan sumber daya alam yang diperuntukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat telah gagal dicapai. Konsep bernegara yang berfungsi sebagai pengatur dan pelayan rakyatnya, justru hanya melayani kepentingan elit kuasa dan para pemodal. Re-publika (Indonesia) telah digantikan dengan Re-privata (swasta). Dan Indonesia pun kembali terjajah.
Penjajah telah berganti wajah, berganti metode, bentuk dan gaya. Penjajah bukan lagi representasi satu negara akan tetapi terakomodasi dalam berbagai lembaga, seperti WTO, World Bank, ADB, yang dibungkus lewat berbagai perjanjian perdagangan seperti CAFTA, G20 dan lain sebagainya. Dalam berbagai perjanjian tersebut negara-negara Industri tetap mempertahankan supremasinya atas negara bekas koloni. Inilah yang disebut praktik kolonialisme ekonomi pasca perang dingin.
Setelah pecahnya perang dunia kedua, perluasan ekonomi tetap memangsa aset-aset negara bekas jajahan. Dan bahkan semakin kuat mencengkram sendi-sendi aset kehidupan rakyat. Peran negara sebagai pelayan rakyat (re-publika) dipaksa untuk dikurangi dengan berbagai proses ekonomi liberal. Penghapusan subsidi untuk rakyat, melakukan liberalisasi sektor keuangan, melakukan penjualan aset Badan Usaha Milik Negara. Hingga bebasnya perdagangan lintas negara yang menghancurkan usaha kecil rakyat disektor pertanian, peternakan, perikanan dan industri rumah tangga. Menyandarkan pembangunan pada utang luar negeri dan meninggalkan kemampuan mandiri dan berdikari. Indonesia dewasa ini dipaksa menjalankan tiga fungsi yang menopang sendi ekonomi global yakni, sumber daya alam yang berlimpah, buruh murah terpasang, dan pasar bagi produk penjajah.
Kebijakan ekonomi politik yang eksploitatif di mana telah terjadi ketimpangan penguasaan agraria yang sangat mencolok ini, telah menyebabkan kehancuran ekologis di hampir setiap jengkal tanah di Indonesia. Kehancuran ekologis semakin besar terjadi karena bersekutunya elit kuasa negeri dengan para kuasa modal. Sementara risiko kerusakan lingkungan dan hilangnya aset-aset untuk keberlangsungan hidup dipikul oleh rakyat[7]. Elit kuasa dan pemilik modal memiliki kekerabatan yang erat dengan kerusakan dan kehancuran sistem ekologis. Setelah sumberdaya air, sumberdaya pangan kini dalam proses privatisasi. Swasta dan asing akan secara legal melakukan perampasan lahan (land grabing). Risiko dan harga kehancuran lingkungan tidak dihitung bahkan diabaikan dalam setiap investasi dan proyek utang. Pada gilirannya saat kondisi lingkungan rusak dan tercemar, proyek pemulihan lingkungan kembali didesakan melalui dana utang (kasus waduk dan perubahan iklim).
Kehancuran lingkungan sudah merata sebarannya di Indonesia. Wujud paling mudah untuk dikenali adalah berbagai bencana ekologis[8] yang terjadi setiap hari di seluruh nusantara, sambung menyambung tanpa jeda. Kondisi ini diperparah dengan situasi geografis Indonesia yang berada di kawasan rentan bencana dan ancaman perubahan iklim.
Dalam kerangka penyelamatan Indonesia inilah gerakan lingkungan hidup mengambil inisiatif mengajak para pihak untuk terlibat dalam Gerakan Pemulihan Indonesia. Gerakan ini adalah upaya pembalikan krisis multidimensi yang menjangkiti Indonesia. Memperbaiki tata kehidupan berbangsa secara utuh, mewujudkan keadilan ekologis dengan cara populer dan semangat progresif.

SALAH URUS BERUJUNG BENCANA[9]
Dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana (BNPB, 2010). Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri dari Banjir, kekeringan, longsor, badai dan kebakaran[10]. Kondisi ini di sebut WALHI sebagai “Darurat Ekologis Indonesia”[11].
Proses penghancuran sumber-sumber kehidupan rakyat telah mengakibatkan terjadinya krisis multidimensi. Krisis politik, krisis ekonomi, krisis sosial-budaya dan krisis ekologi lahir dari proses demokrasi yang telah dibajak oleh kepentingan elit yang menghamba pada kuasa modal. Krisis ekologi yang terjadi karena negara, pemodal dan sistem pengetahuan modern telah mereduksi alam menjadi onggokan komoditi yang bisa direkayasa dan dieksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek sehingga pada gilirannya berbagai bencana lingkungan seperti kebakaran hutan dan lahan, banjir, kekeringan, pencemaran, dan krisis air telah menjadi bencana yang diderita rakyat dari tahun ke tahun (WALHI, 2004).
Kondisi semacam ini secara langsung menjadi penyebab dari kemiskinan rakyat serta hilangnya kedaulatan dan keadilan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2009 menyebutkan, bahwa masyarakat miskin di Indonesia sangat rentan terhadap perubahan pola pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Penyebab utamanya adalah akses yang terbatas terhadap SDA sebagai sumber mata pencaharian dan penunjang kehidupan sehari-hari. Hal ini diperburuk dengan menurunnya mutu Lingkungan Hidup yang membuat masyarakat rentan jatuh ke bawah garis kemiskinan dan masyarakat miskin semakin rentan untuk lebih terpuruk. Meskipun sangat disayangkan tidak disebutkan peran kuasa modal di dalamnya, yang menjadi penyebab dari adanya ketimpangan akses dan pemanfaatan Sumber Daya Alam di tengah masyarakat. 
Masalah akses dan pemanfaatan terhadap Sumber Daya Alam menjadi isu penting dalam kaitannya dengan hak menentukan nasib sendiri terkait dengan pemanfaatannya yang berada dalam teritori suatu bangsa. Artinya, setiap bangsa harus secara bebas menguasai kekayaan alam dan sumber dayanya. Secara yuridis, jaminan suatu negara atas kedaulatan  sumber daya alam telah diatur dalam instrumen hukum internasional. Ruang lingkup pengaturannya tidak terbatas hanya pada penguasaan atas sumber daya alam semata, namun meluas terbangunannya tatanan ekonomi internasional  yang berkeadilan dan berkesetaraan. 
Pasal 22 Deklarasi Universal HAM (DUHAM) secara implisit menjamin hak atas penentuan nasib sendiri karena pasal ini berkenaan dengan realisasi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya melalui kerjasama internasional. Lebih lanjut, Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1803 (XVII) tahun 1962 juga menyatakan bahwa Kedaulatan Permanen terhadap Sumber Daya Alam, merupakan konsekuensi logis dari hak menentukan nasib sendiri.
Penegasan mengani hal ini lebih jauh diatur dalam konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Dua instrumen yuridis di tingkat internasional maupun nasional, membantu dalam melakukan observasi secara lebih mendalam atas kondisi terkini pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia. Ketentuan-ketentuan di atas merupakan jaminan konstitusional bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam. Karena itu sudah selayaknya hal ini menjadi landasan dalam setiap perencanaan kebijakan di bidang lingkungan dan sumber daya alam. Yaitu memastikan peran konstitusional negara dalam menguasai kekayaan alam dengan tujuan menjamin agar kemakmuran rakyat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang perorang, dan agar tampuk produksi tidak jatuh ke tangan orang perorang, yang memungkinkan ditindasnya rakyat banyak oleh segelintir orang yang berkuasa.
Di sisi lain, memburuknya kondisi lingkungan dan kebijakan lingkungan saat ini sangat berpengaruh terhadap hak hidup, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan dan pendidikan, serta hak asasi lainnya. Kerugian ekologis terjadi akibat dari kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan, privatisasi sumber daya air, pembalakan yang merusak serta praktek penangkapan ikan secara ilegal dan merusak lingkungan. Sumber Daya Alam melimpah yang dimiliki Indonesia telah menggabungkan negeri ini dalam daftar sumber pengerukan dan target penjajahan oleh kapital internasional. Selain mengambil keuntungan dari ekspor bahan mentah dengan harga murah, mereka juga menggunakan kesempatan ini untuk memastikan pembayaran kembali utang-utang pemerintah. 
Kondisi demikian jelas bertentangan dengan semangat konstitusi untuk memberikan jaminan terhadap hak atas lingkungan hidup. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) menyebutkan“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan'. Sedangkan Pasal 33 ayat (4) berbunyi 'Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional'.
Sektor Kehutanan
Dalam sepuluh tahun terakhir terjadi degradasi hutan mencapai lebih dari 2 juta hektar per tahun, lebih cepat dibanding era tahun 1980-an dengan tingkat degradasi 1 juta per tahun. Sampai tahun 2007, terdapat 322 izin Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dengan luas 2,78 juta hektar. Sementara, 266 izin HTI dengan luas 10 juta hektar, hanya 3,4 juta hektar yang ditanami, sedangkan sisanya ditelantarkan. Penebangan komersil secara ekspansif untuk konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit skala besar yang luasnya mencapai 20 juta hektar lebih, sementara yang sudah ditanami seluas 7,8 juta hektar, ditambah dengan kawasan pertambangan yang juga mengkonversi hutan sehingga semakin didegradasikannya kawasan hutan Indonesia.
Kawasan hutan lindung pun terus mengalami penciutan. Tahun 2004, luas kawasan hutan lindung Indonesia mencapai 55,2 juta hektar. Fakta terkini, Indonesia tinggal memiliki kawasan hutan lindung seluas 39 juta hektar (2009). Terjadi penciutan kawasan hutan lindung seluas 29 % dalam 5 tahun terakhir.  Adapun kawasan hutan lindung yang terancam ditambang sejumlah 11,4 juta hektar. Hal ini diakibatkan oleh kebijakan pemerintah mengakomodir investasi yang mengorbankan hutan, seperti pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. Aturan tersebut diantaranya PP No 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutang untuk Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan.

Sektor Pertambangan
Luas keseluruhan area kontrak karya mineral dan batubara telah mencapai lebih dari 44 juta hektar atau mencapai 44 % luas hutan Indonesia. Penting untuk diketahui, sebagian besar lokasi kontrak mineral dan batubara umumnya berada di kawasan hutan.  Luas area yang diserahkan pemerintah melalui skema-skema kontrak pertambangan tersebut mencapai 23 % dari luas daratan Indonesia.[12]
Luas Kontrak Mineral dan Batubara di Indonesia sampai dengan Tahun 2005

Jenis Kontrak
Luas (Ha)
KK Mineral
6.465.276,00
KP Mineral
7.670.337,51
KP Batubara
24.769.361,00
KKB / PKP2B
5.200.026,00
Jumlah
44.105.000,51
Sumber: Data Hasil Olahan dari Berbagai (Sumber, Jatam, ESDM, Tahun 2006)


Ekspansi wilayah tambang ini terus dimungkinkan dengan Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Kendati Undang-undang tersebut menyebutkan luas wilayah pertambangan mineral pada masa produksi seluas 25.000 hektar dan 10.000 hektar untuk batu bara, lebih kecil dari luas wilayah kontrak pertambangan yang ada seperti KP Batu Bara seluas 100.000 hektar. Namun tidak ada ketegasan membatasi jumlah ijin bagi satu perusahaan atau berbagai perusahaan di setiap wilayah kawasan yang hendak ditambang.

Celakanya, berdasarkan pasal 162 UU No 4 Tahun 2009, rakyat berpeluang dikriminalisasi oleh negara mana kala mereka mempertahankan kawasan hidup mereka dengan memilih sumber penghidupan selain tambang. Sementara itu, disaat ruang kelola mereka hendak dijadikan kawasan tambang oleh pemerintah, posisi rakyat berada pada posisi yang lemah, karena penentuan kawasan tambang cukup hanya dikonsultasikan ke rakyat. Dan rakyat bukan sebagai penentu. 
Sektor Migas

Lebih dari 95 juta hektar konsesi migas dikuasai oleh perusahaan-perusahaan raksasa luar negeri. Sebanyak 85 persen produksi migas nasional dikendalikan oleh perusahaan swasta asing. Keseluruhan kegiatan eksploitasi migas, murni untuk mengejar keuntungan semata dan mengabaikan kelestarian alam.
Lahirnya UU No 22/2001 tentang minyak dan gas bumi menegaskan kedudukan usaha di bidang ekploitasi dan perdagangan migas sebagai usaha untuk mengejar keuntungan. Lebih dari 1.314 perusahaan terlibat dalam kegiatan bisnis migas. Sebanyak 100 perusahaan menguasai kegiatan produksi di hulu. Umumnya, perusahaan tersebut adalah perusahaan asing, sisanya adalah pertamina dan perusahaan kecil-kecil yang bekerja sebagai sub-kontraktor asing dan pedagang ritel BBM.
Penentuan harga minyak sesuai dengan mekanisme pasar membuat harganya fluktuatif dan cenderung  meninggi, menciptakan ketidakadilan atas akses energi. Keuntungan besar yang didapatkan oleh perusahaan migas diinvestasikan kembali secara mayoritas di sektor energi fossil, bukannya di energi terbarukan, kian memperparah kondisi perubahan iklim. Sementara itu, rakyat di daerah dan jalur produksi migas secara langsung dan kuat terus menerus menderita dari dampak lingkungan yang terjadi, sebagaimana dialami penurunan tangkapan ikan nelayan di perairan Kabupaten Indramayu. 
Di samping itu, skema kontrak kerjasama Production Sharing Contract[13](PSC), perusahaan migas tidak menanggung biaya atas investasi yang mereka tanamkan, karena seluruh biaya ekplorasi, produksi dan penjualan migas ditanggung oleh negara melalui cost recovery. Hal inilah yang menyebabkan investasi atau penanaman modal di sector migas praktis mengalami peningkatan. Kendati produksi migas tidak mengalami peningkatan, biaya cost recovery yang dikeluarkan pemerintah untuk perusahaan-perusahaan sub kontraktor termasuk Pertamina membengkak dalam 5 tahun terakhir.
Sektor kelautan
Sekitar 147 juta orang saat ini tinggal dikawasan pesisir Indonesia, termasuk 20 juta nelayan di dalamnya, hidup dalam kondisi terancam kekurangan pangan dan bencana ekologis akibat ketiadaan perhatian pemerintah atas nasib mereka, serta kebijakan pembangunan yang bias darat.
Kawasan pantai dan pesisir juga makin rentan gelombang tsunami, salinitas dan naiknya muka laut, sejak diserbu proyek reklamasi pembangunan kawasan industri, perniagaan, dan permukiman mewah. Hal ini berakibat kerusakan dan berkurangnya hutan mangrove. Maraknya aktivitas konversi hutan mangrove untuk kegiatan industri pertambakan dan reklamasi pantai yang terjadi secara terus menerus dalam 25 tahun terakhir, menjadikan kurang dari 1,9 juta hektar kawasan tersisa. Dari empat proyek reklamasi pantai di Padang, Sumatera Barat, Jakarta, Makassar dan Manado, telah lebih dari 5 ribu hektar area ekosistem mangrove, lamun, maupun terumbu karang terancam. Kini, lebih dari 10 proyek reklamasi pantai secara masif terjadi di Indonesia.
Dalam 15 tahun terakhir, pesisir dan laut Indonesia telah menjadi praktik pencurian ikan oleh 10 negara. Mereka adalah Thailand, Fhilipina, Taiwan, Korea, Panama, China, Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Myanmar. Pencurian tersebut melenyapkan sekitar 30-50 persen total potensi perikanan tangkap nasional setiap tahun.
Sekitar 90 persen produksi udang kita memasok kebutuhan asing, 37 persen untuk Amerika Serikat, 27 persen untuk Jepang, 15 persen untuk Eropa.
Sementara itu, pertambakan juga dimonopoli asing. Di Lampung, sekitar 60 persen laha produktif pertambakan dikuasai satu perusahaan multinasional Charon Phokpand, yang juga menguasai 50 persen total ekspor udang nasional. Sejak awal, pembangunan pertambakan (aquaqulture) di Indonesia melibatkan utang Asia Development Bank (ADB) dan Bank Dunia. Jika dirata-rata, kontribusi utang luar negeri di sektor ini mencapai Rp 39,5 miliar per tahun, sejak 1983-2013 mendatang.
Kegiatan-kegiatan ekstraksi di darat juga penyebab  krisis laut, salah satunya penambangan logam, batubara dan migas. Tak hanya membawa hasil sedimentasi ke muara industri tambang juga membuang limbah beracunnya langsung ke laut, sehingga berdampak pada kehidupan nelayan.
Dari dua tambang Amerika Serikat saja, PT Newmont dan PT Freeport membuang 340 ribu ton tailing setiap harinya. Demikian halnya buangan limbah pengeboran dan pengangkutan minyak bumi ilegal. Di perairan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, hampir setiap tahun di temukan tumpahan minyak mentah (tarball). Hal yang sama terjadi di teluk Balikpapan, Kalimanatan Timur dan Indramayu, Jawa Barat. Eksploitasi minyak dan gas menggunakan dinamit yang diledakan di kedalaman laut Teluk Balikpapan, berakibat kematian massal ikan dan rusaknya terumbu karang di perairan tersebut.
Secara utuh, situasi di atas akan memperparah krisis pangan nasional. Jika tidak dihentikan, sebelum 2015, Indonesia akan krisis ikan. Gejala krisis telah dirasakan dari hilangnya sejumlah jenis ikan konsumsi lokal di pasar-pasar tradisional, menurunya tanggapan nelayan, serta tingginya konflik perikanan,di picu perbuatan sumberdaya perikanan yang makin terbatas. Bahkan, tergantung pasokan ikan negara lain, yang jumlahnya terus membengkak setiap tahun, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 23,34 persen per tahun. Dan, terus meningkat  hingga 30 persen. 
Isu penting yang terus mengemuka dan jadi perdebatan adalah terkait dilegalkannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP-PPK), dalam prakteknya akan mendorong adanya privatisasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; mendorong kaum pemodal mengambil alih wilayah kelola, meniadakan akses dan kontrol rakyat atas wilayah pesisir dan laut selama 60 tahun akumulatif. Dengan UU ini pemerintah secara jelas menyerahkan urusan pengelolaan sumber daya kelautan dan pesisir kepada kaum pemodal, dengan melepaskan tanggung jawabnya sebagai pengurus negara yang melindungi hak seluruh rakyatnya.  Walaupun pada akhirnya pasal-pasal terkait hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2011 melalui yudisial review yang diajukan oleh kalangan masyarakat sipil, namun prakteknya di lapangan masih tidak mencerminkan keberpihakannya pada rakyat dan pemulihan lingkungan.
Perubahan Iklim
Dalam kebijakan terkait perubahan iklim, pemerintahan belum melakukan tindakan nyata untuk mengatasi perubahan iklim, di tingkat nasional dan internasional. Di tingkat nasional, melalui pembukaan lahan gambut dan perkebunan sawit yang sempat dijadikan ikon energi rendah karbon membuat emisi karbon Indonesia menjadi besar. Di tingkat internasional, Indonesia jauh di belakang negara dunia ketiga lainnya, seperti Bolivia, yang secara keras mengingatkan negara Industri untuk menurunkan emisinya serta membayar hutang ekologis (hutang iklim mereka) kepada dunia dan negara dunia ketiga, bukan melalui metode carbon off-set.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk mereduksi emisi dari sektor energi dan sektor kehutanan (praktek konversi lahan) sebesar 26% pada tahun 2020 sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat pertemuan KTT G-20 di Pittsburgh pada bulan September yang lalu hanya akan mempermalukan Indonesia di dalam kancah perundingan terkait dengan perubahan iklim. Karena sebelumnya pada saat pertemuan G-8 di Hokaido Jepang Presiden SBY juga pernah menyampaikan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dari sektor kehutanan sebesar 50% pada tahun 2009. Tapi sampai dengan hari ini, komitmen tersebut tak lebih dari sekedar cek kosong dalam perubahan iklim.
Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang diterbitkan pada 20 September 2011 lalu masih terlalu general dan memberikan ruang terhadap konversi kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, penebangan kayu serta tidak memuat penyelesaian konflik tenurial yang menjadi persoalan mendasar pengelolaan kawasan saat ini. Selain itu juga Perpres 61 tahun 2011 ini tidak menjawab bagaimana koordinasi dan penyelarasan program secara lebih konkret baik antar sektor maupun antar pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Sementara disisi lain sebelumnya pemerintah mengeluarkan kebijakan percepatan pembangunan melalui program MP3EI (Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia) yang sudah pasti lapar tanah dan sumberdaya alam yang berpotensi besar merusak lingkungan dan menimbulkan konflik dengan masyarakat.
Pemerintah tak pernah menunjukkan upaya serius untuk menghentikan laju deforestasi, melainkan terus menerus mengeluarkan kebijakan konversi hutan alam, seperti mengeluarkan 20 izin RKT seluas ratusan ribu hektar diatas hutan alam di propinsi Riau pada tahun 2008 untuk mendukung kebutuhan kayu industri bubur kertas.
Pemerintah juga terus akan mengembangkan perkebunan sawit seluas 12,9 juta hektar di 12 wilayah untuk mendukung program biofuel di Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan tujuan pemerintah untuk terus meningkatkan produksi CPO sebesar 40 juta ton pada tahun 2020 untuk mendukung kebutuhan ekspor sebesar 60% dan sisanya untuk kebutuhan energi, pangan dan lain sebagainya. Padahal, sebagaimana yang kita ketahui setiap satu ton CPO akan menghasilkan dua ton CO2 (Wetlands International, 2006).
Pertanian, Kemiskinan dan Konflik
Hingga kini kemiskinan di pedesaan dan pertanian juga tidak pernah menjadi perhatian pemerintah sekarang. Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian adalah 44,3 persen. Namun, mereka hanya menyumbang 15.9 dari PDB Nasional 2008 yang berarti sebagian besar petani hidup dalam kemiskinan. Rata-rata kepemilikan lahan yang dipunyai oleh petani hanya 0.17 hektar lahan/perkapita. Sebagian besar di dalamnya adalah buruh tani yang tidak mempunyai lahan sama sekali (landless). Sementara itu, terdapat 12.418.056 (dua belas juta empat ratus delapan belas ribu lima puluh enam) hektar tanah terlantar (Deptan 2007) tidak pernah diberikan kepada rakyat.
Selain miskin, rakyat setiap hari juga harus berhadapan dengan perampasan tanah. Hingga tahun 2008, tercatat 10,8 juta hektar tanah petani dan masyarakat adat telah dirampas oleh perusahaan yang difasilitasi negara. Ada lebih dari 1,1 juta KK yang menjadi korban. Mayoritas konflik tersebut menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai pihak yang paling menderita, akibat kerentanan dan kondisi ketidakadilan gender yang selama ini sangat menyolok dalam pengurusan kekayaan alam Indonesia.
Yang juga patut dicermati adalah masih kuatnya pendekatan kekerasan, dan kriminalisasi oleh negara dalam pengelolaan sumberdaya alam. WALHI mencatat hingga hingga tahun 2008 terdapat 317 kasus sengketa agraria dan sumberdaya alam yang melibatkan rakyat berhadap-hadapan dengan kekuatan aparatur negara dan modal. Keseluruhan kasus tersebut, rata-rata mengandung unsur kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Merujuk data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat 4000 kasus konflik yang timbul atas perebutan kawasan kelola atas sumberdaya alam (2008).
Sementara itu, Konsorsium Pembaruan Agraria, mencatat bahwa hingga tahun 2007 terdapat 1.537 konflik agraria di Indonesia dengan melibatkan 10 juta hektar tanah dan 10 juta penduduk. Sedangkan Sawit Watch, salah satu organisasi yang konsen pada isu perkebunan sawit dan HAM mencatat sampai untuk tahun 2007 terdapat 514 kasus yang terjadi di 14 propinsi, melibatkan rakyat, serta 141 perusahaan sawit, dari 23 group usaha dan pemerintah.
Data konflik LH dan PSDA ini hanya yang muncul di permukaan. Sebab, BPN Pusat hingga tahun 2007 mencatat tanah sengketa yang telah lama umurnya berjumlah 7.491 kasus. Penyelesaianya baru diselesaikan 591 kasus pada tahun 2007, dan 1.600 kasus pada tahun 2008. Dalam beragam konflik SDA dan agraria ini, persoalan administratif penguasaan atas tanah dalam bentuk Hak Guna Usaha (HGU) menjadi salah satu pokok soalnya.
Lingkungan Hidup, Utang dan Korupsi
Merujuk laporan Koalisi Anti Utang, hingga Juli 2009, untuk outstanding Surat Utang Luar Negeri (SUN) saja sudah hampir menyentuh angka Rp 900 triliun. Kenaikan jumlah utang luar negeri terus meningkat setiap tahun dan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai ilustrasi, hingga akhir Juli 2008, total utang negara sudah mencapai sebesar Rp 1.462 triliun. Jumlah itu hampir mencapai angka 2 kali lipat APBN 2007. Hampir separuh utang luar negeri, atau sebesar 32,7 miliar dollar AS, berupa utang bilateral. Dari angka tersebut, 40 persen adalah  utang dari Jepang.
Secara nominal, utang kita terus meningkat dalam delapan tahun terakhir, yaitu sebesar Rp 298 triliun. Sedangkan penambahan utang yang terjadi selama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tercatat sebesar Rp 194 triliun.
Selama ini utang luar negeri yang sangat besar tersebut tidak digunakan untuk rakyat, tetapi menjadi sumber bagi pembiayaan kepentingan modal dan investasi besar. Investasi dengan modal besar ini, secara eksploitatif semakin menurunkan kualitas dan daya dukung lingkungan. Di satu sisi, negara dengan menggunakan pajak rakyat, harus membayar bunga dan cicilan hutang pokok dalam jumlah yang sangat besar.
Untuk tahun anggaran 2008-2009 pembayaran cicilan pokok dan bunga utang mencapai Rp. 495,69 triliun atau setara dengan 58 persen pendapatan negara, atau menghabiskan 75 persen pendapatan pajak dalam APBN 2009.
Hingga Agustus 2009, utang luar negeri Indonesia sudah mencapai Rp 1.6000 trilun (kurs 11.000/US$). Angka ini, menjadikan setidaknya setiap jiwa rakyat Indonesia hari ini harus menanggung beban utang sebesar Rp 8 juta!
Sementara itu, di tengah situasi krisis dan kemisinan rakyat Indonesia, watak korupsi dan bermewah-mewah aparat kita masih menonjol. Hingga tahun 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan total penyimpangan anggaran negara sebesar 3.600 triliun rupiah. Ada 40% yang berpotensi dikorupsi. Anggaran negara yang dicuri, lebih besar dari total tanggungan subsidi BBM, subsidi pupuk dan bantuan tunai langsung (BLT).
Privatisasi Yang Melumasi Krisis Ekologis
Pemerintah juga terus melakukan privatisasi dan swastanisasi aset-aset strategis publik, seperti BUMN, industri migas, perusahaan listrik negara, perbankan nasional dan lain sebagainya. Sedikitnya 34 BUMN strategis hendak dijual oleh pemerintah kepada pihak swasta (mayoritas asing) melalui Komite Privatisasi Perusahaan Perseroan dengan Keppres 18 tahun 2006. Privatisasi ini mendorong semakin meningkatnya krisis lingkungan hidup dan sumberdaya alam di Indonesia, dimana beberapa diantaranya mengelola sektor sumber daya air, mineral, energi, perkebunan dan kehutanan. Penyerahan BUMN strategis bidang SDA kepada mekanisme pasar bebas ini juga secara ekonomik melumasi bencana ekologis. Akses dan kontrol negara dan rakyat atas LH dan PSDA berpindah ke tangan modal swasta.

Sektoralisme, Pemasalahan Kebijakan Lingkungan dan Sumber Daya Alam

Sektoralisme dalam pengelolaan sumber daya alam telah berjalan selama puluhan tahun, dimulai dengan dibukanya keran penanaman modal asing di masa Orde Baru. UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang ternyata keluar lebih dahulu daripada UU No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, segera disusul oleh UU No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan. Kebijakan ini melancarkan datangnya PT. Freeport ke Indonesia, yang kemudian terus menerus diperpanjang kontraknya sejak 1967 hingga 2041.  Selama itu pula, hingga kini tidak ada suatu kesatuan pandangan tentang pengelolaan sumber daya alam.  Bahkan sebuah kebijakan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam (Ketetapan MPR No.IX Tahun 2001) yang belakangan lahir atas kesadaran adanya ketidaksinkronan berbagai kebijakan sektoral dan ketimpangan dalam pengelolaannya menjadi mandul karena tidak pernah dijalankan oleh pemerintah dan DPR.

Faktanya kini, 10 tahun sejak Tap MPR tersebut lahir, kebijakan agraria dan sumber daya alam yang ada tetap bersifat sektoral dan kadang saling bertentangan. Ketiadaan aturan yang general tentang sumber daya alam pun menyulitkan dalam UU lainnya misalnya saja, UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan sebuah PP tentang “penatagunaan sumber daya alam lainnya” padahal pengertian “sumber daya alam lainnya” tersebut tidak pernah dijelaskan sebelumnya, dan tidak ada UU lain yang dapat dijadikan pedoman.[14]

Sektoralisme dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam menimbulkan berbagai inkonsistensi.  Untuk permasalahan istilah saja bagaimana negara menempatkan diri terhadap sumber daya alam terdapat perbedaan antar kebijakan. Ada yang menggunakan kata penatagunaan, penguasaan hingga pengelolaan. Belum ada konsep yang baku dan dapat dipedomani mengenai “hak menguasai negara” terhadap bumi, air dan kekayaan alam sebagaimana diamanatkan dalam jiwa pasal 33 UUD 1945.








Dari segi visi misi kebijakan, Maria S. Soemardjono dkk. membuat penilaian sebagai berikut terhadap berbagai kebijakan terkait penataan ruang dan pengelolaan sumber daya alam: [15]

Kebijakan
Visi Misi
UU 5/1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria
konservasi sumber daya alam, bersifat pro-rakyat dan berfungsi sosial, anti monopoli swasta, pembatasan kepemilikan, dan mengedepankan nasionalisme
UU 11/1967 tentang Ketentuan–ketentuan Pokok Pertambangan

Eksploitasi bahan tambang dan pro-kapital.
UU 5/1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya

Konservasi dan pro-rakyat
UU 41/1999 tentang Kehutanan
Perimbangan eksploitasi dan konservasi, namun lebih cenderung eksploitasi, lebih pro-kapital daripada pro-rakyat
UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Eksploitasi dan pro-kapital
UU 7/2004 tentang Sumberdaya Air

Konservasi dan eksploitasi, fungsi sosial, dan ada kecenderungan pro-kapital dengan persyaratan ketersediaan
modal besar, teknologi tinggi, dan manajemen usaha yang ahli.
UU 31/2004 tentang Perikanan
Eksploitasi, pro-kapital meskipun ada perhatian terhadap untuk nelayan kecil.

UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang
Konservasi dan pro-rakyat
UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – pulau Kecil (PWP3K)

Konservasi, dan eksploitasi, pro-rakyat, tetapi juga pro-kapital.
UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah
Konservasi, pro-rakyat sekaligus tetap membuka peluang pada kapital besar.


Selain itu kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah sedikit banyak juga menyumbang kesemrawutan pada kebijakan pengelolaan sumber daya alam antara pusat dan daerah, antar daerah dan antar sektor. Penerbitan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di tingkat lokal seringkali sarat korupsi dan saling berbenturan dengan kebijakan pemerintah pusat, apalagi jika diterbitkan pada masa sekitar pemilihan kepala daerah. Pada tahun 2010 saja, WALHI telah melaporkan sejumlah dugaan korupsi di daerah pada sektor sumber daya alam kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain kasus korupsi di Nunukan yang dilaporkan pada tanggal 8 April 2010; kasus alih fungsi secara illegal untuk pertambangan di Kabupaten Manggarai Barat dan Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur; serta kasus dugaan korupsi pada pemberian ijin IUPHHK HTI di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Dukungan pemerintah terhadap keamanan berusaha bagi korporasi juga diwujudkan dalam dirumuskannya pasal-pasal kriminalisasi bagi pihak-pihak yang dianggap “menganggu”. Hal ini tercermin dalam berbagai UU, mulai dari UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) serta baru-baru ini yaitu UU Perumahan dan Permukiman yang mengkriminalisasi orang-orang yang dianggap menghalangi relokasi (baca: penggusuran).

Hal ini kemudian berdampak pada banyaknya kasus masyarakat yang dikriminalisasi saat berhadapan dengan korporasi dalam mempertahankan ruang hidup dan lingkungannya. Kriminalisasi ini seringkali justru memperuncing konflik agraria antara masyarakat dengan perusahaan yang mungkin  telah terjadi bertahun-tahun. Begitu banyaknya warga masyarakat yang dikriminalisasi, bahkan mengalami kekerasan hingga tewas karena dianggap menghalang-halangi kegiatan pengusaha, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Sementara pengusaha yang dilaporkan oleh warga masyarakat karena perampasan lahan dan wilayah adat tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Meskipun ada kasus misalnya penetapan pengusaha sawit Murad Husein sebagai tersangka perampasan lahan di Banggai pada Maret 2010, hingga kini yang bersangkutan masih bebas dan kasusnya belum ditindaklanjuti. Sementara 17 warga dan aktivis saat ini mendekam di tahanan karena berdemonstrasi dan dituduh merusak fasilitas kantor perusahaan milik Murad Husein.

Di lain pihak, penegakan hukum untuk  tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi masih sangat lemah. Untuk pencemaran saja, Walhi mencatat ada 75 kasus sepanjang 2010, sementara pengaduan yang masuk ke Kementrian Lingkungan Hidup mencapai 200 kasus. Akan tetapi Mabes Polri dalam setengah tahun pertama 2010 hanya menangani 13 kasus tindak pidana lingkungan dengan 6 tersangka, sementara di tahun 2009 total hanya 17 kasus dengan 10 tersangka. Karena nya masih banyak kasus yang belum tersentuh hukum.  Sementara di tingkatan pengadilan, Kementrian Lingkungan Hidup mencatat hanya 20 kasus dengan 5 kasus divonis penjara, 1 kasus divonis pidana percobaan, sementara terpidana dalam 14 kasus lainnya dinyatakan bebas murni.[16]

Doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang telah diakui dalam UU No.23 Tahun 1997 yang kemudian diperbaharui dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang perlindungangan dan pengelolaan lingkungan hidup, ternyata tidak serta merta dapat memberikan kompensasi kepada masyarakat yang terdampak. Contoh yang paling fenomenal adalah kasus lumpur lapindo, dimana perusahaan berkelit dengan argumentasi keterkaitan antara semburan lumpur dengan bencana gempa di Yogyakarta. Meskipun ada sejumlah ahli yang membantah argument tersebut, proses hukum baik pidana maupun perdata (diajukan oleh Walhi dan YLBHI secara terpisah) tetap tidak dapat membuat PT. Lapindo Brantas bertanggungjawab. Bahkan hingga kini, negara yang harus menanggung akibatnya dan telah lebih dari Rp.4 trilyun dana APBN dikucurkan hingga kini.

Untuk kejahatan kehutanan seperti pembalakan dan penyelundupan hidupan liar yang mendapat perhatian dan dukungan pembiayaan yang signifikan dari luar negeri, berbagai upaya dukungan dilakukan bahkan RUU Pembalakan Liar menganggap bahwa kejahatan ini sama seriusnya dengan terorisme, karenanya penegakannya dapat menyimpang dari ketentuan KUHAP.[17] Padahal, lagi-lagi yang akan dikriminalisasi dengan UU ini nantinya adalah masyarakat perambah yang hidupnya tergantung dari hutan, sementara perusahaan pembalakan kayu skala besar yang jauh lebih merusak dapat melenggang bebas selama mengantongi izin dari pemerintah.

Di sisi lain, penyidikan untuk tindak pidana impor limbah B3 dalam UU PPLH yang sebagaimana bunyinya pasti melibatkan dua negara, ternyata tidak dianggap sebagai kejahatan transnasional. Polairud Mabes Polri mengakui bahwa mereka tidak dapat menjangkau pengimpor limbah di luar negeri karena keterbatasan dana, sehingga selama ini yang dari sekian banyak kasus yang ditangani keseluruhannya hanya penerima (perusahaan di Indonesia) yang dijadikan tersangka dan hampir semuanya bebas. Lebih lanjut, peraturan pelaksana UU PPLH tentang pengelolaan limbah B3 hingga kini juga tidak kunjung disahkan, sehingga mempersulit penegakan hukumnya.

UU PPLH menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana UU tersebut akan selesai dalam waktu setahun (Oktober 2010 yang lalu). Belum disahkannya satupun peraturan pelaksana tersebut menunjukkan ketidakseriusan KLH dalam mempersiapkan perangkat penegakan hukum lingkungan.  Saat ini memang sejumlah RPP sedang dibahas akan tetapi prosesnya kurang partisipatif dimana pembahasannya cenderung tertutup untuk RPP tertentu.  Adapula kecurigaan bahwa ada proses ‘penghalusan’ ketentuan dalam UU PPLH yang selama ini dianggap sangat keras, untuk dapat menjamin keberlangsungan dan dukungan dunia usaha serta institusi pemerintah yang erat dengan eksploitasi sumber daya alam seperti Kementrian ESDM,  dapat terlihat misalnya dalam draf RPP Perizinan Lingkungan yang telah dikonsultasikan ke publik.

Sementara itu, perlawanan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi terus berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Paling tidak sudah ada 2 (dua) undang-undang yang dimenangkan oleh masyarakat sipil melalui gugatan yudisial review yaitu UU PWP3K terkait pasal HP3 dan UU Perkebunan. Menyusul UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara hingga kini telah menuai setidaknya lima pengajuan uji materil dari berbagai pihak, salah satunya adalah Walhi dengan sejumlah organisasi dan individu terkait penetapan wilayah pertambangan yang tidak melibatkan persetujuan masyarakat dan kriminalisasi terhadap penolakan pertambangan.  Maraknya proses uji materil ini menunjukkan bahwa banyak undang-undang yang memang bertentangan atau tidak sejalan dengan konstitusi UUD 1945 sehingga seharusnya menjadi perhatian bagi pembuat kebijakan, apalagi dengan target legislasi 2011 yang ambisius sejumlah 70 UU, padahal di tahun 2010 DPR hanya berhasil mengeluarkan tidak sampai 10 UU.

Kebijakan ‘payung” untuk pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam masih merupakan sesuatu yang dicita-citakan untuk mengatasi tumpang tindih dan ketidaksinkronan kebijakan. Ini merupakan tantangan bagi gerakan lingkungan dan agraria untuk terus menerus memperjuangkannya, ditengah ego sektoral dari berbagai kementrian di pemerintah. Tentunya proses panjang ini harus dibarengi dengan kesiapan komitmen, substansi dan sumber daya yang memadai.

Sementara itu, legislasi berbagai kebijakan sektoral yang masih berlangsung saat ini tetap tidak dapat diabaikan.  RUU tentang Perubahan UU Migas, RUU tentang Perubahan UU Pangan, RUU Pemberantasan Pembalakan Liar dan RUU Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Pembangunan adalah sebagian dari sekian banyaknya RUU prioritas Prolegnas 2011 yang penting untuk dipantau substansinya. Selain itu karena harapan penegakan hukum lingkungan banyak digantungkan pada UU PPLH, penting bagi masyarakat sipil untuk terlibat dalam pembahasan berbagai rancangan peraturan pelaksanaannya. Bagi pemerintah khususnya KLH, dibutuhkan percepatan pembahasan tanpa mengabaikan substansinya demi kepastian hukum dan penegakannya.

PEMULIHAN INDONESIA[18]
Pemulihan Indonesia adalah upaya pembalikan krisis multidimensi yang menjangkiti Indonesia. Memperbaiki tata kehidupan berbangsa Indonesia secara keseluruhan dengan mewujudkan keadilan ekologis dengan cara populer dan semangat revolusioner. Hal ini dilakukan dengan mempersatukan kesadaran pentingnya memulihkan krisis di setiap komunitas kota dan desa. Membangkitkan kepercayaan diri bangsa untuk dapat keluar dari krisis dengan kekuatan seluruh rakyat. 
Keberhasilan gerakan memulihkan Indonesia terletak pada persatuan semangat perjuangan rakyat Indonesia terkhusus kaum tani, nelayan, buruh, kelompok perempuan, masyarakat adat, miskin perkotaan. Dengan semangat ini, desakan pemulihan Indonesia menjadi masif memaksa negara untuk berfikir, bertindak darurat dan mandiri dalam memulihkan Indonesia. Memulihkan Indonesia harus melepaskan diri dari berhutang. Karena utang makin membuat Indonesia tergantung, tidak mandiri dan hilang percaya diri. Kepercayaan bangsa ini harus dibangkitkan dan disatukan. Gerakan lingkungan adalah gerakan penyelamatan bumi, penyelamatan manusia dari keserakan rezim Neoliberal.
Restorasi Ekologis
Kunci “Pemulihan Indonesia” adalah restorasi ekologis. Restorasi Ekologis adalah tindakan sistematis untuk memulihkan dan melindungi kondisi ekologis, sosial dan budaya kawasan dengan menjamin akses dan kontrol rakyat atas sumber-sumber kehidupan yang adil dan lestari.
Program Restorasi Ekologis harus didasarkan pada asas kerakyatan, keadilan antar dan intra generasi, kepastian hukum, keberlanjutan, partisipasi, transparansi, akuntablitas, serta penghormatan pada nilai hak asasi manusia. Di samping itu, memuat hal-hal yang berkenaan dengan aspek-aspek demokratisasi pengelolaan SDA yang tercermin dalam pengaturan hak dan peran serta masyarakat yang hakiki dan terperinci dengan menjabarkan prinsip: keadilan gender, akses atas informasi, perlindungan secara utuh hak-hak tradisional, wilayah ulayat, hukum adat dan sistem nilai masyarakat lokal dalam pengelolaan SDA.
Restorasi Ekologis menentang pola pembangunan dan pengurusan SDA yang bercorak eksploitatif, ekspansif, berorientasi pasar, mengabaikan keselamatan dan peningkatan produktifitas rakyat, serta keberlanjutan jasa pelayanan alam.
Selain itu juga, Restorasi Ekologis menempatkan keadaan kemiskinan dan penurunan kualitas LH dan SDA sebagai tanggung jawab utama pemerintah sebagai pemangku amanat konstitusi negara demi untuk memenuhi hak-hak dasar dan keadilan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum, meliputi: terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup (LH), rasa aman dan perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, serta hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Untuk itu, pelaksanaan agenda Restorasi Ekologis harus dilaksanakan secara terintegrasi dalam seluruh sektor dan wilayah. Prinsip-prinsip Restorasi Ekologis juga harus digunakan sebagai prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam rencana pembangunan jangka panjang dan menengah Indonesia (RPJP dan RPJM).
Sasaran utama dari pelaksanaan agenda Restorasi Ekologis adalah mengembalikan fungsi utama lingkungan hidup dan PSDA sebagai sumber-sumber kehidupan rakyat. Selain itu, dimaksudkan untuk melindungi kekayaan alam yang tersisa dari tindakan produksi, konsumsi dan tata kelola yang tidak adil dan tidak berkelanjutan.
Apa yang harus dipulihkan
Indonesia yang sekarang ini penuh dengan carut marut pengelolaan memerlukan perubahan yang menyeluruh untuk dapat membalikan krisis menjadi republik yang mampu mengayomi dan melakukan manajerial atas sumber-sumber kehidupan guna keberlanjutan rakyat dan negara.  Sektor-sektor yang berhubungan dengan hajat hidup rakyat seperti jaminan keselamatan  atas air, tanah, pesisir dan laut serta udara yang bersih harus menjadi skala prioritas untuk diselamatkan.
Negara yang mandat pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah harus menunjukan niat baik dan melakukan tindakan-tindakan yang mengutamakan keselamatan rakyat dengan melakukan penyelamatan terhadap sumber-sumber kehidupan.  Pemerintah mulai dari struktur tertinggi sampai dengan lini terbawah harus mempunyai kesamaan pandang berupa pengarusutamaan dan memberikan jaminan bagi rakyat dalam melakukan tindakan dalam rangka pemebuhan kebutuhan serta membebaskan rakyat dari ancaman-ancaman pengusuran basis-basis ekonomi rakyat mulai dari cara yang paling visual berupa penggusuran secara langsung  sampai dengan tindakan penipuan dengan dalih kemakmuran seperti yang selama ini terjadi.
Regulasi yang selama ini terbukti sukses menghancurkan tatanan sosial rakyat  dengan memberikan ruang hidup kepada korporasi dan melakukan penghambaan terhadap pemodal  harus dirubah kepada kebijakan yang memberikan jaminan keselamatan kepada rakyat selaku pemilik negara. Pembangunan yang bersandar kepada hutang luar negeri yang sarat dengan intervensi politik penguasaan sumber daya alam harus di hapuskan dan mewajibakan kepada pemodal-pemodal yang selama ini melakukan pengrusakan teradap sumber-sumber kehidupan rakyat  untuk bertanggungjawab dengan membayar hutang ekologis atas tindakan-tindakan yang sudah dilaksanakan.
Rakyat harus mendapatkan informasi utuh dari setiap konsep pembangunan. Informasi yang bermuara kepada penyesatan dan membuat rakyat memberikan dukungan terhadap kepentingan segelintir  kelompok yang bertujuan untuk  memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu. Rakyat harus mendedikasikan dirinya sebagai organ utama dalam setiap kepentingan bernegara. Undang-undang keterbukaan informasi harus di jalankan secara konsisten dan sampai kepada tingkat basis di mana kantong-kantong massa rakyat berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan.
Untuk itu  rakyat harus:
a.     Membangun massa kritis.
Massa kritis harus dibentuk dan diciptakan. Kondisi rakyat yang selama ini dipermainkan oleh kelompok elite politik, pemangku modal dan kelompok-kelompok yang bermental kleptokrasi. Harus segera di akhiri. Massa kritis akan menjadi ujung tombak dari setiap perubahan yang akan dilaksanakan dengan membangun ruang seluas-luas bagi rakyat dalam membangun gerakan rakyat guna menyelamatkan sumbers-sumber kehidupan.
Pembentukan massa kritis harus berdasarkan pendidikan kritis yang diajarkan kepada rakyat. Karena Pendidikan kritis tidak bisa lepas dari gerakan pembebasan, bahkan pendidikan kritis bisa disebut sebagai langkah lanjutan dari tahapan gerakan pembebasan. Kata “pembebasan” dalam pendidikan kritis mewarisi semangat pembebasan yang memiliki kontek makna dari satu formasi sosial ke formasi sosial lainnya. Sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidak adilan di zamannya
Idealnya, pendidikan kritis rakyat mampu meningkatkan daya kritis terhadap ancaman yang menimpa mereka, sekaligus membangun solidaritas antar rakyat. Syarat utama adalah mempertimbangkan kondisi obyektif dan subyektif rakyat terebut. Syarat lain yang diperlukan meliputi:[19]
1.     Perlunya beberapa contoh konkrit sebagai bahan pelatihan pada tingkat bawah, yakni mengupas problem dan isu yang khusus.
2.     Perlunya merajut seluruh problem dan isu tersebut sehingga merentangkan seluruh persoalan yang dihadapi komunitas.
3.     Perlunya komunikasi pada tingkat nasional untuk dapat memperkuat posisi tawar rakyat terhadap pemerintah. Bangunan negara harus dipahami rakyat dalam memperjelas ketimpangan hubungan antara negara dan rakyat.
b.     Menjaga sumber-sumber kehidupan di masing-masing wilayah dari ancaman kejahatan korporasi.
Rakyat harus mengetahui secara detail tentang apa saja potensi yang ada diwilayah mereka serta ancaman atas kondisi wilayah yang mereka miliki. Pengetahuan yang utuh atas kondisi lingkungan serta dampak yang terjadi serta potensi ancaman kerusakan lingkungan jika potensi itu di ekploitasi akan membuat rakyat dengan kekuatan massa kritis ini akan mempertahankan kawasan ekologi guna menjaga stabilitas lingkungan buat mereka.
Untuk dapat menjaga sumber-sumber kehidupan tersebut. Maka rakyat didorong untuk berorganisasi, bersyarekat agar menjadi kesatuan yang kuat.
c.     Membangun perlawanan terhadap tindak kejahatan lingkungan
Perlawanan secara langsung di lakukan dengan cara melakukan penolakan penggunaan terhadap hasil-hasil produksi yang dihasilkan dari pengerukan sumber daya alam dengan mengorbankan keselamatan lingkungan di Indonesia. Perlawanan ini dilakukan dengan cara:
1.   Memboikot hasil produksi - produksi dari perusahaan yang terbukti terlibat dalam mengorbankan lingkungan dan hak-hak rakyat.
2.   melakukan tindakan pengawasan dari setiap regulasi yang akan dikeluarkan oleh negara dalam rangka menjamin berlangsungnya proses ekstraksi destruksi sumber daya
3.   melakukan blokade terhadap semua aktivitas industri ekstraktif baik yang sedang beraktivitas maupun baru mau akan beroperasi.
4.   secara kontinyu menyuarakan keselamatan lingkungan sebagai agenda yang harus diarusutamakan dalam setiap moment dan diskursus yang ada.
Prinsip-prinsip Pemulihan
Prinsip-prinsip pemulihan Indonesia, tidak terlepas dari prinsis-prinsip restorasi ekologis, yakni didasarkan pada asas :
1.     Pengelolaan SDA dan LH dengan pendekatan bioregional
2.     Kerakyatan
3.     Keadilan Antar dan Intra Generasi
4.     Kepastian Hukum
5.     Keberlanjutan
6.     Partisipasi
7.     Transparansi
8.     Akuntabilitas
9.     Penghormatan terhadap Nilai-nilai Hak Asasi Manusia

PENUTUP
Kekayaan alam yang melimpah ruah ternyata tidak menjadi jaminan menuju jalan kemakmuran bagi masyarakat. Bumi Indonesia dalam perjalanannya telah menjadi milik segelintir orang saja, menjadi milik korporasi besar yang tidak perduli sama sekali terhadap ketertindasan massa rakyat di sekelilingnya. Kesejahteraan dan kemakmuran hanya menjadi jargon dan hiasan mulut dari bibir manis para pemimpin negeri, kesehatan dan pendidikan hanya sebagai gula-gula untuk masyarakat sesaat sebelum berkuasa dan bersiap menjual sumber-sumber kehidupan masyarakat setelahnya, dari laut sampai hutan, dari pesisir sampai tambang.
Harapan membangun Indonesia baru yang terbebas dari penghisapan dan penindasan serta kehancuran lingkungan merupakan cita-cita setiap dari yang mencintai negerinya. Kesatuan pandangan dalam menilai dan menyimpulkan krisis yang sedang Indonesia alami mengalamatkan bahwa semangat satu langkah menuju perubahan.
Untuk itu upaya-upaya pemulihan perlu segera dilakukan secara menyeluruh yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Tidak ada waktu lagi dan tidak ada pilihan lain, selain memulihkan Indonesia dengan mengutamakan keselamatan rakyat. Agar tujuan bernegara dan berbangsa sebagaimana yang termaktub dalam Proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945 dapat segera terwujud.


[1] Dokumen WALHI “Pulihkan Indonesia, Utamakan Keselamatan Rakyat”, 2011
[2] Diproyeksikan dari angka 13,3% angka kemiskinan yang diutarakan Presiden SBY di depan para pejabat bank sentral negara-negara sahabat yang tergabung dalam Alliance for Financial Inclusion (AFI) di Jimbaran, Bali, Senin (27/9/2010), dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia hasil sensus 2010 yang berjumlah 237.556.363 orang
[3] Jumlah Ketersediaan Air di Sejumlah Provinsi Menipis, voanews.com 21/07/2010, diakses melalui http://air.bappenas.go.id/main/index.php?prm_page_id=1&prm_type_id=5&prm_news_id=2076 tanggal 28 September 2010
[4] Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
[5] Pasal 13 UU No.5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
[6] Sesuai amanat konstitusi dan sila ke lima Pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia”
[7] Seperti dalam kasus luapan lumpur Lapindo. …..
[8] Bencana ekologis adalah akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam yang telah mengakibatkan kolapsnya pranata kehidupan masyarakat. (Dokumen Kampanye Pengelolaan Bencana WALHI)
[9] Laporan-laporan WALHI sejak 2004 hingga 2010 telah banyak mengupas tentang ketidakadilan ekologis yang berdampak pada bencana ekologis dan berujung pada darurat ekologis.
[10] Press Statement: Pulihkan Indonesia, WALHI, 5 April 2010
[11] lebih lanjut lihat “DARURAT EKOLOGIS INDONESIA” Kertas Konsep: Restorasi Ekologis Indonesia Menuju Pengurusan Sumber daya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, WALHI, 2009
[12]Badan Planologi Kehutanan/Forestry Planning Agency menyebutkan bahwa luas Hutan Indonesia mencapai 101.843.486 Ha. Tutupan vegetasi seluruh daratan Indonesia mencapai 187.746.754 Ha, sedangkan luas daratan secara keseluruhan mencapai 192.257.000 ha.


[14] Hal ini menjadi pokok perhatian Maria S. Soemardjono dkk. dalam Final report Kajian kritis undang-undang terkait penataan ruang & sumberdaya alam, Januari 2009.
[15] Diolah dari Tabel II.4 dalam Soemardjono et al., hal.19. Perbandingan ketidaksinkronan antar beberapa UU juga disajikan di hal. 76-78.
[16] Siaran Pers Rakornas Penegakan Hukum Lingkungan 2010, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Penaatan Hukum Lingkungan, 16 Desember 2010. Dapat dilihat di  http://www.menlh.go.id/home/index.php?option=com_content&view=article&id=4971:siaran-pers-rakornas-penegakan-hukum-lingkungan-2010&catid=43:berita&Itemid=73&lang=id
[17] Dalam RUU Pembalakan Liar saat ini (versi Oktober 2010) tersangka pembalakan liar dapat ditangkap selama 2 X 24 jam yang kemudian dapat diperpanjang 3X 24 jam, hanya berbeda sedikit dari ketentuan UU Terorisme yaitu 7 X 24 jam, menyimpangi ketentuan KUHAP yang hanya memperbolehkan maksimum 1 X 24 jam.
[18] Dokumen WALHI “Pulihkan Indonesia, Utamakan Keselamatan Rakyat”, 2011
[19] Ed. M. Ridha Saleh, Ruth Indiah Rahayu. Masyarakat Indonesia: Demokrasi sosial Indonesia.  Juni 2004.