Sunday, June 26, 2011

Menyoal Krisis Listrik dan Solusi Semu


CSR dan Green Energy, “Benarkah Solusi bagi Krisis Listrik di Indonesia?”[1]
Oleh Berry Nahdian Forqan[2]

Pendahuluan
Sumberdaya energi merupakan kebutuhan pokok dan merupakan komponen mutlak ketika kita ingin membangun sebuah peradaban masyarakat suatu bangsa ataupun dunia saat ini.  Ketiadaan sumberdaya energi atau ketidakmampuan suatu masyarakat atau negara  dalam menyediakan sumberdaya energi mengakibatkan lemahnya kemampuan  suatu masyarakat atau negara tersebut dalam membangun peradabannya.  Bahkan bisa berujung kepada terjadinya krisis multidimensi.
Berbagai konflik dan peperangan di berbagai belahan dunia terjadi hanya karena memperebutkan suberdaya energi.   Pada periode 1990-an paling tidak 5 juta orang terbunuh, dan 17-21 juta orang tersingkirkan ke barak-barak pengungsian.  Rakyat di Negara-negara miskin yang paling menderita dimana peperangan tersebut berlangsung. Sementara para elit dan Negara kaya justru memperoleh untung setelah dapat menguasai sumber-sumber energi tersebut seperti minyak bumi.
Indonesia adalah negeri yang kaya raya akan sumberdaya alamnya termasuk potensi untuk pemenuhan energi bagi kebutuhan warga Negara.  Namun ironisnya sumberdaya alam tersebut tidak mampu dikelola dengan baik sebagai potensi sumber energi bagi pembangunan peradaban masyarakat dan bangsa negeri ini.  Faktanya sekarang ini negeri kita mengalami krisis energi baik untuk pemenuhan bahan bakar maupun energi untuk listrik. “Tikus mati di lumbung padi,” sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi pengelolaan sumberdaya alam bagi pemenuhan energi negeri ini.
Listrik bagian dari kebutuhan warga yang mesti dipenuhi oleh pemerintah tidak bisa diakses oleh seluruh penduduk dan parahnya lagi pemenuhan bagi kelompok warga yang sudah terjangkaupun mengalami defisit sehingga di banyak daerah selalu terjadi pemadaman bergiliran.  Bukan saja ini sangat berpengaruh pada penyediaan listrik bagi rumah tangga namun juga berpengaruh para kemampuan warga dan dunia usaha dalam berproduksi.  
Sementara itu berbagai solusi yang ditawarkan masih bersifat parsial dan jangka pendek.  Pemenuhan energi untuk listrik masih mengandalkan energi fosil yang bersifat terbatas dan tidak terbarukan.  Hal ini terlihat dari rencana pembangunan pembangkit listrik 10 Gwh dengan mengandalkan batubara sebagai pengganti bahan bakar minyak yang semakin menipis.  Padahal kita ketahui sumber energi fosil baik migas maupun batubara adalah bahan utama penyebab terjadinya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca.  Sedangkan potensi energi alternatif atau energi terbarukan yang cukup melimpah di negeri ini tidak benar-benar dimanfaatkan dengan baik dan tidak menjadi prioritas utama yang didahulukan dalam rangka mengatasi krisis listrik yang terjadi. 
Disisi lain, kegagalan pemerintah sebagai pemegang mandat tanggungjawab pengurus Negara dalam memenuhi kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat dan dalam hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi warga Negara justru kemudian mengalihkannya kepada pihak swasta dengan mendorong program Corporate Social Responsibility atau biasa disingkat CSR.  Dan menjadi pertanyaan besar apakah CRS melalui “Green Energy” dapat menjawab persoalan fundamental krisis listrik di Indonesia saat ini.   Dimana persoalan utama krisis listrik tersebut adalah bukan pada ketidakberdayaan masyarakat dan ketiadaan energi terbarukan (ramah lingkungan) namun pada ketimpangan dan ketidakadilan akses dan kontrol dalam pengelolaan sumberdaya energi di negeri ini.

CSR dalam Pandangan WALHI
Pada tahun 2008 WALHI melakukan sebuah penelitian terkait dengan praktek CSR di empat perusahaan besar yang bergerak dibidang ekstraksi sumberdaya alam.  Pemilihan atas korporasi besar ini didasarkan atas dasar : 1) rentang perusahaan yang dipilih cukup luas dari perspektif pelaksanaan CSR, karena melibatkan perusahaan yang telah menerima CSR Award dan dikontraskan dengan perusahaan yang belum mendapatkan izin eksploitasi di kawasan konservasi namun sudah melakukan aktivitas CSR;  2) sebagian besar perusahaan tersebut mempunyai rekam jejak yang negatif terhadap persoalan social dan lingkungan;  3) perusahaan-perusahaan yang dipilih telah mewakili tipologi perusahaan ekstraktif yang berkaitan dengan sumberdaya alam yakni migas, mineral, batubara dan pulp dan paper;  4) perusahaan yang dipilih sudah termasuk perusahaan yang pemiliknya atau pemilik sebelumnya adalah perusahaan transnasional yang telah mempelopori konsep dan praktek CSR di Indonesia;  5) tiga dari perusahaan yang dipilih adalah milik pengusaha yang sangat kuat di Indonesia;  6) sirkulasi pengetahuan dan praktek CSR difasilitasi dengan memperkerjakan spesialis CSR yang berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain (dianggap berpengalaman).
Berikut ini adalah temuan dari analisa data yang didapatkan berdasarkan temuan-temuan lapangan  dalam penelitian tersebut :
1.     Apa yang dirumuskan sebagai “CSR” pada umumnya adalah proyek-proyek pembangunan. Dapat juga disebut sebagai “community development”, atau “comdev”. Kendati tidak mesti berdasarkan inisiatif komunitas, namun proyek-proyek yang dijalankan oleh spesialis “comdev” korporasi,  diimplementasikan untuk komunitas.
2.     Disamping proyek-proyek yang dijalankan untuk komunitas, label CSR juga meliputi beberapa bentuk donasi. Seperti bantuan bahan material bangunan untuk sekolah, mesjid, dan gereja. Mensponsori kunjungan-kunjungan lapangan (studi banding) terhadap proyek-proyek serupa, dengan komponen entertainmen yang lebih besar.
3.     Kendati tidak secara resmi disebut sebagai CSR, dana dalam jumlah besar dari perusahaan dialokasikan untuk mendukung kelompok-kelompok lokal yang diorganisir berdasarkan etnisitas. Selain itu juga diberikan kepada kelompok-kelompok pemuda yang siap melindungi kepentingan perusahaan jika terdapat kritik dari organisasi lingkungan atau kelompok lainnya.
4.     Berbagai departemen atau divisi dalam perusahaan, memiliki berbagai nama sampai kepada sebuah konsep CSR yang komprehensif. Umumnya, departemen atau divisi yang mengurus CSR sebelumnya bertugas untuk hubungan masyarakat atau hubungan dengan pemerintah, kemudian dilakukan penambahan community development. Dapat juga orang perusahaan yang bertanggung-jawab untuk community development juga mengurus hubungan dengan pemerintah.
5.     Dengan menganalisa data secara keseluruhan, bisa disimpulkan bahwa tujuan ‘kosmetik’ CSR lebih besar dibanding dengan perhatian yang sebenarnya untuk mitigasi lingkungan maupun keadilan sosial. Kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan pertambangan, demikian juga degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh pengalihan tanaman hutan asli dengan eucalyptus untuk pasokan bahan mentah pulp and paper, telah menciptakan kesengsaraan bagi penduduk lokal. Kondisi semacam ini sering tidak dapat dimitigasi oleh proyek-proyek yang disebut sebagai community development projects. Di semua kasus, baik pertambangan juga aktivis penebangan kayu (longging) telah membuat sungai, danau kecil menjadi lebih dangkal dan lebih kotor tumpahan bahan bakar, minyak mental, dan pembuangan tailing ke badan air yang menjadi sumber utama bagi air minum, mandi bagi penduduk lokal. Disamping polusi air, kebisingan dari pengeboran dan pemboman bebatuan mengkibatkan jendela kaca pecah, membahayakan pendengaran penduduk dan mengganggu bayi. Tidak ada aktivitas CSR di tempat yang terdampak yang dapat mengatasi dampak kerusakan lingkungan.
6.     Sebagian besar aktivitas CSR yang diamati, dirancang dan diimplementasikan untuk mengurangi potensi dan konflik aktual antara korporasi dan komunitas lokal. Dalam beberapa kasus, penduduk lokal mengungkapkan kemarahan mereka karena tidak mendapatkan pekerjaan di korporasi, namun di desa lainnya mereka terang-terangan memblokade perusahaan tambang atau perusahaan kayu atau pulp dan paper untuk memasuki tanah adat mereka untuk menghancurkan hutan mereka atau membuat sungai mereka terpolusi.
7.     Sebagian besar aktivitas CSR yang diamati secara sengaja maupun tidak sengaja menciptakan perpecahan di komunitas lokal. Perpecahan ini awalnya diciptakan oleh korporasi dengan membuat zonasi yang mengkategorikan komunitas sekitar berdasarkan  jarak dari lokasi aktual operasi perusahaan. Keselamatan komunitas dari bahaya yang inheren dengan operasi perusahaan tambang tidak selalu menjadi perhatian utama untuk menentukan zona yang diterapkan terhadap penduduk lokal, namun lebih kepada keberadaan langsung mereka dalam menghadapi perusahaan tambang. Ketidakadilan yang melekat dalam kebijakan zonasi dapat terlihat dari kenyataan bahwa tailing  pertambangan dibuang jauh dari pertambangan.
8.     Jumlah dan tipe proyek CSR yang diimplementasikan dari sebagian besar kasus yang diamati tidak dirancang secara bersama-sama dengan komunitas terdampak. Namun kebanyakan dengan pemimpin mereka yang kepentingannya sejalan dengan kepentingan korporasi. Biasanya setelah diikutkan dalam kunjungan “studi banding”, atau perekrutan anak-anak mereka atau keluarga lainnya sebagai pekerja di perusahaan.
9.     Sebagian besar dari kasus yang dipelajari menunjukkan bahwa donasi dari perusahaan didistribusikan kepada individu-individu atau kelompok yang paling berbicara keras atau paling kritis terhadap perusahaan. Kebijakan diskriminatif ini menciptakan ketegangan yang keras antara komunitas lokal atau antar lapisan komunitas. Hal tersebut mendorong beberapa kelompok tertentu menjadi lebih dekat kepada manajer perusahaan, sementara yang lainnya menjadi lebih konfrontatif terhadap perusahaan.
10.   Jika diperlukan untuk melakukan manipulasi institusi adat mana kala berhadapan dengan keberadaan komunitas penduduk asli yang memiliki ikatan kuat terhadap tanah mereka, maka perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam akan melakukannya.  Manipulasi terhadap institusi adat lokal ini dapat menimbulkan efek yang merusak di masa yang akan datang, karena perusahaan akan dinilai lebih menguntungkan satu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya.
11.   Makin lama perusahaan beroperasi di daerah propinsi atau kabupaten setempat, makin kuat kecenderungan perusahaan tersebut berlaku seperti negara dalam negara. Karena dana CSR menambah ketergantungan komunitas lokal, birokrat juga legislator terhadap perusahaan. Ketergantungan ini pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk mensejahterakan warga negara, bukan korporasi.
12.   Dengan makin bertambah populernya CSR maka terjadi pengkamuflasean terhadap pengabaian Peraturan Pemerintah N0.27 Tahun 1999 tentang AMDAL, yang dilakukan baik oleh negara juga korporasi. Keberadaan dua sistem perundang-undangan, salah satunya mengatur kewajiban-kewajiban perusahaan terhadap dampak lingkungan, dan yang lain tentang tanggung jawab sosial perusahaan, menciptakan daerah abu-abu atau tumpang tindih.
13.   Sementara aktivitas CSR yang diteliti dalam penelitian ini tidak sanggup menanggulangi efek penggusuran yang diciptakan oleh perusahaan-persahaan yang bergerak dalam sumber daya alam. Namun ironisnya hal ini telah menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi banyak aktivis yang sebelumnya beraktivitas di organisasi non pemerintah ataupun jurnalis. Proses ini mengulangi proses serupa ketika banyak aktivis bergabung dengan perusahaan konsultan AMDAL atau peraturan yang terkait dengannya. Dengan perkataan lain, terdapat sebuah pergeseran dari konsultan AMDAL menjadi konsultan CSR.

Berdasarkan temuan diatas serta berpedoman kepada Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB), bisa disimpulkan bahwa konsep CSR dan prakteknya tidak memberikan kontribusi dan jaminan bagi penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Terdapat daerah abu-abu dengan populernya CSR bersamaan dengan terabaikannya undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup, pemerintah mengambil tanggungjawab yang lebih sedikit untuk pemenuhan hak ekosob masyarakat, dan menyerahkannya kepada perusahaan.  Pengalihan tanggungjawab pemerintah ini menghapuskan kewajibannya terhadap konstitusi negara untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.  
Temuan diatas tentu tidak dapat diklaim sebagai representasi secara keseluruhan praktek CSR di Indonesia namun paling tidak dapat memberikan gambaran umum bagaimana praktek CSR tersebut dilaksanakan mengingat penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang memiliki tenaga pelaksana khusus dan dianggap berpengalaman.


Krisis Listrik BUAH DARI KETIMPANGAN AKSES
Di negeri ini, kita sebagai warga Negara, rakyat Indonesia tidak mempunyai banyak pilihan untuk mengakses dan menjangkau ketersediaan dan pelayanan kebutuhan energi yang memiliki kualitas yang baik, aman dan ramah lingkungan demi mendukung kehidupan social dan ekonomi yang lebih baik.  Berlimpahnya sumber energi baik yang berasal dari energi fosil maupun energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti energi angin, air, surya, gelombang laut, biofuel, panas bumi dan lainnya tidak dimanfaatkan secara baik, benar dan optimal berdasarkan konsep pengelolaan yang mempertimbangkan potensi, kebutuhan, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.  Energi ditempatkan sebagai barang komoditi semata, dan sebagai barang komoditi maka kebijakan energi diarahkan lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pasar ketimbang untuk memenuhi kebutuhan warga. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ekspoitasi energi fosil secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak lingkungan, kebutuhan warga dan pencadangan masa depan bahkan aspek keadilan.  Sementara sumber energi alternatif, energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan belum menjadi pilihan dan arus utama kebijakan pemerintah.  Sebagian kelompok kecil warga memiliki akses yang besar dan menggunakan energi secara berlimpah namun sebagian besar warga lainnya punya akses terbatas dan kekurangan energi.
Salah urus sumberdaya energi di negeri ini berakibat pada terjadinya kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana ekologis dan berujung pada kemiskinan karena berkurangnya kemampuan produktivitas warga. Data dari BNPB tahun 2010 menunjukan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana, dimana berdasarkan catatan WALHI bencana tersebut lebih besar karena dampak kerusakan lingkungan atau disebut bencana ekologis. Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul lebih dari satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri dari Banjir, kekeringan, longsor, badai dan kebakaran[3]. Kondisi ini di sebut WALHI sebagai “Darurat Ekologis Indonesia”[4].
Krisis listrik hanyalah merupakan salah satu bagian dari salah urus sumberdaya energi di negeri ini.   Krisis listrik terjadi ditengah kita punya potensi sumber energi yang cukup besar untuk menghasilkan listrik.  Artinya krisis listrik terjadi bukan masalah ketiadaan sumber energi untuk pembangkit listrik namun lebih kepada tata kuasa, tata produksi dan tata konsumsi yang tidak menempatkan warga sebagai aktor dan penerima manfaat utama energi bagi pemenuhan listrik dan mengabaikan kepentingan lingkungan.

Situasi Kekinian Pasokan Listrik
Daerah
Daya Maksimal (MW)
Beban Puncak (MW)
Kekurangan
(MW)
Sumatera
2.792,70
3.012,20
219,50
Kalimantan
306,14
372,73
66,59
Sulawesi
511,18
611,44
100,26
Kepulauan Maluku
42,80
46,10
3,30
Jawa-Madura-Bali-Lombok
17.035,81
17.370,66
334,85
Sumber : ESDM, Oktober 2009

Sebagai contoh di Kalimantan Selatan, sebuah provinsi yang kaya akan sumber energi berupa batubara dan potensi alam lainnya namun pemenuhan listrik bagi penduduk disana masih belum mampu menjangkau sampai ke pelosok-pelosok daerah.  Bahkan penduduk yang sudah mendapatkan pelayanan listrik dari PLN mesti sabar mengurut dada karena seringnya pemadaman bergiliran.  Berdasarkan hasil penelitian WALHI Kalsel total produksi batubara di Kalsel 78,5 juta ton pada tahun 2008 dan hanya 1,69% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di Kalsel selebihnya 70% di ekspor dan kurang lebih 28% untuk kebutuhan Jawa- Bali. PLTA Riam Kanan yang listriknya digunakan untuk menerangi wilayah Kalsel dan Kalteng namun tidak mampu (baca: tidak mau) memberikan layanan jangkauan listrik kepada masyarakat yang berada di wilayah hulu bendungan yang notabene adalah warga yang dikorbankan untuk pembangunan PLTA tersebut.
Dari gambaran diatas menggambarkan bahwa persoalan krisis listrik bukan karena ketiadaan sumberdaya energinya dan listrik yang dihasilkan namun lebih jauh karena ketimpangan tata kuasa, tata produksi dan tata konsumsinya.  Sehingga dorongan penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan haruslah dibarengi dengan perubahan pola struktur tata kelola yang lebih adil dan seimbang.  Artinya pemassifan penggunaan energi terbarukan mesti dibarengi dengan penataan kembali struktur pengelolaannya yang lebih berkeadilan sehingga dapat menjangkau seluruh warga Negara tanpa kecuali.   

Politik Energi Terbarukan Indonesia
Isu pemanasan global telah menyadarkan banyak pihak akan bahayanya penggunaan energi fosil yang telah mencemari udara dan penyebab terjadinya efek rumah kaca.  Hal ini mendorong para pihak terutama para pecinta lingkungan lebih jauh mendesakkan adanya peralihan penggunaan energi fosil kepada energi alternatif terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Sejak tahun 1970an para ilmuan dunia mulai massif melakukan riset terkait dengan energi terbarukan terutama menyangkut energi surya, energi angin, energi pasang surut dan gelombang air laut, serta biogas.  Bahkan melebar sampai pada energi non-konvensional seperti memecah hydrogen dari air, energi berbasis bioteknologi, eksplorasi energi kinetik, dan peningkatan efisiensi energi listrik.
Namun disayangkan sampai dekade ini penggunaan energi fosil masih mendominasi penggunaan energi dunia dimana pada tahun 2004, Yuliarto dalam makalah yang berjudul meneropong konsumsi energi dunia (2005) menyebutkan bahwa sebesar 87,7% konsumsi energi dunia menggunakan energi fosil sisanya 6,1% nuklir dan 6,2% bersumber dari energi hydro.
Indonesia sendiri masih menggunakan energi fosil sebagai sumber pasokan energi disamping juga sebagai penyedia bahan baku sumber energi bagi Negara-negara tujuan ekspor migas dan batubara.  Dalam periode 2003 -2009 berdasarkan data dari ESDM setiap tahunnya lebih 70% batubara Indonesia di ekspor sementara PLN kesulitan pasokan bahan baku.  Pada tahun 2008 porsi penggunaan energi di Indonesia 48,4% minyak, 28,6% gas, 18,8% batubara dan 4,2% energi terbarukan.  Artinya 95,8% Indonesia masih menggunakan energi fosil yang tidak ramah lingkungan.  Sementara berdasarkan data dari statistik PLN 2008, persentase berdasarkan sumber tenaga adalah: 9,1% tenaga air, 2,87% tenaga panas bumi, 35% tenaga uap dari batubara, 0,73% tenaga uap dari gas, 8,63% tenaga uap dari minyak, 4,7% tenaga gas, 30,27% tenaga diesel, 8,65% kombinasi gas dan uap dan hanya 0,0000847% tenaga matahari.    
Sementara kebijakan arah pengembangan energi masa depan Indonesia berdasarkan Blueprint Pengembangan Energi Nasional 2005-2025 yang dikeluarkan pemerintah tidak ada perubahan secara substansial.  Indonesia masih mengandalkan pada energi fosil dengan sedikit penurunan dari 94% pada tahun 2005 menjadi 89,5% pada tahun 2025.  Artinya dalam rentang waktu 20 tahun Indonesia hanya menurunkan komposisi energi fosil sebesar 4,5%.  Padahal cadangan energi fosil kita terus semakin menyusut dan tidak akan mampu bertahan lama, bahkan cadangan minyak kita diperkirakan akan habis di tahun 2023 kemudian menyusul batubara.

CSR, Green Energy dan Jawaban atas Krisis Listrik
Pertanyaanya adalah bagaimana kita menyelesaikan krisis listrik dengan mendorong energi terbarukan (green energy) melalui kegiatan CSR jika kita runut bahwa akar masalah dari krisis energi di Indonesia bukan terletak pada ada tidaknya ketersediaan sumber energi kita dan apakah kita menggunakan energi fosil yang tidak ramah lingkungan atau energi terbarukan yang lebih berkelanjutan namun ada soal ketimpangan dan ketidakadilan dalam tata kelolanya.  Sementara CSR tidak akan mampu menjawab ketimpangan itu sendiri karena daya jangkau dan kapasitasnya yang terbatas disamping dalam prakteknya berdasarkan temuan WALHI sebelumnya, program CSR tidak memberikan kontribusi dan jaminan bagi penegakan hak-hak ekonomi, social dan budaya bagi masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar perusahaan.
Bahwasanya memang menjadi penting dan mendesak bagi kita untuk mendorong adanya peralihan penggunaan energi fosil kepada energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi masa depan bangsa kita karena persoalan lingkungan dan pemanasan global yang sudah jelas terpampang di depan mata kita.  Namun ini tidak akan bisa diselesaikan dengan program CSR karena ini adalah urusan besar terkait dengan kebijakan ekonomi politik pengurusan negeri ini.  Ketika tidak ada kebijakan yang kuat dan serius dari pemerintah untuk menata kembali ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya energi dengan memberikan ruang yang lebih besar kepada rakyat untuk mampu mengelolanya secara mandiri maka krisis listrik akan terus terjadi.  Sementara salah satu penyebab ketimpangan itu terjadi adalah karena diberikannya konsesi-konsesi pengelolaan sumber-sumber energi kepada perusahaan-perusahaan besar swasta yang mendominasi dan mempunyai kontrol yang kuat terhadap sumber-sumber energi tersebut sehingga hak-hak warga terabaikan.
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kedepan adalah bagaimana pemerintah membuat sebuah kebijakan yang kuat melepas ketergantungan terhadap energi fosil dan mengubah haluan penggunaannya kepada penggunaan energi terbarukan dengan merevisi berbagai regulasi yang ada yang masih mengarus-utamakan energi fosil dan menyusun tahapan-tahapan yang mesti dilakukan dimana pengelolaanya diarahkan untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan domestik berbasis bioregion dan menempatkan rakyat sebagai aktor dan penerima manfaat utamanya.  Tanggung jawab mengatasi krisis listrik tidak bisa diserahkan kepada perusahaan melalui program CSRnya walau dengan program energi terbarukan sekalipun karena kewajiban untuk mensejahterakan rakyat termasuk untuk pemenuhan kebutuhan listrik adalah tanggungjawab Negara dan dalam hal ini pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 sementara perusahaan sudah pasti tujuan pendiriannya adalah untuk mencari keuntungan bagi pemiliknya dimana program CSR hanyalah alat untuk terus dapat memastikan adanya keuntungan tersebut.
Namun paling tidak untuk memajukan pemenuhan energi terbarukan yang lebih berkeadilan dan mampu menjangkau pemenuhan kebutuhan warga maka beberapa langkah yang bisa dilakukan diantaranya adalah : mengembangkan riset dan teknologi penyediaan energi terbarukan yang murah untuk rakyat; melakukan desentralisasi, lokalisasi dan downsizing penyediaan energi; membangun mekanisme insentif dan disinsentif; meningkatkan keamanan pasokan energi dengan memperhatikan aspek dan biaya lingkungan; prioritas alokasi energi untuk kebutuhan warga; menerapkan prinsip-prinsip partisipasi, konservasi, adil, transparan dan non komoditi.
Kedepan kebijakan pengelolaan energi termasuk listrik mesti mampu menjamin keselamatan hidup warga, keberlanjutan produktivitas warga dan keberlanjutan fungsi-fungsi faal alam. 

PENUTUP
Peran negara dalam menyejahterakan rakyat tentunya tidak bisa digantikan dan pastinya tidak akan pernah bisa tergantikan oleh korporasi. Dalam prinsip korporasi, pemegang saham terbanyaklah yang paling menentukan kebijakan perusahaan (tentang apa yang diproduksi dan bagaimana memproduksinya), atau dikenal dengan istilah, “one dollar one vote”. Sehingga makin kecil kepemilikan sahamnya semakin lemah kontrolnya terhadap korporasi. Terlebih lagi masyarakat sekitar lokasi korporasi bukanlah pemilik saham, sehingga secara formal [saat ini] tidak memiliki kontrol apapun terhadap korporasi. Setidaknya posisi rakyat terhadap pemerintahan yang demokratis masih berlaku prinsip “one man/woman one vote”, sehingga suara mayoritas rakyat harus  diperhatikan (paling tidak secara teori dan memiliki legitimasi). Dengan demikian kontrak rakyat dengan pemerintah/negara dimana salah satu tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat paling tidak diakui secara formal (terpenting diantaranya adalah Pasal 33 Konstitusi Indonesia).
Begitu pula dengan pengelolaan energi dalam hal ini listrik maka pemenuhannya bagi kebutuhan warga tidak bisa diserahkan kepada korporasi apalagi hanya melalui program CSR mereka.  Tanggung jawab pemenuhan energi mesti dilakukan oleh negara yang diwakili oleh pemerintah.


[1] Disampaikan pada Seminar Optimalisasi Program CSR Menuju Masyarakat Mandiri Energi, Hotel Aston Primera-Pasteur Bandung, 22-23 Juli 2010
[2] Direktur Eksekutif Nasional WALHI
[3] Press Statement: Pulihkan Indonesia, WALHI, 5 April 2010
[4] lebih lanjut lihat “DARURAT EKOLOGIS INDONESIA” Kertas Konsep: Restorasi Ekologis Indonesia Menuju Pengurusan Sumber daya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, WALHI, 2009

No comments: