Satu lagi kebijakan rezim SBY-JK yang dengan tanpa malu-malu telah menggadaikan keselamatan hidup rakyat Indonesia. Betapa tidak, kawasan hutan lindung yang mestinya dijaga dan dilindungi agar tetap bisa berfungsi sebagai kawasan ekosistem penyangga dan tempat bergantung keberlangsungan kehidupan jutaan rakyat Indonesia bisa dilepas begitu saja kepada perusahaan tambang untuk dieksploitasi hanya dengan biaya Rp.300,- per meter persegi pertahun atau tidak lebih dari harga sepotong pisang goreng. Sungguh ironis memang, ditengah berbagai kejadian bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor yang terus meluas dan semakin meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya penyelamatan hutan dan lingkungan hidup, rezim SBY-JK justru bertindak sebaliknya dengan membuka ruang yang besar bagi pertambangan dikawasan hutan dengan menerbitkan PP No. 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.
Ancaman Bagi Keselamatan Hidup Rakyat
Apa jadinya jika kawasan hutan lindung sebagai basis pertahanan ekologi terakhir yang berfungsi sebagai kawasan penyangga yang berperan dalam menjaga keseimbangan iklim, mengatur tata air yang dapat menampung air, mengendalikan erosi dan mencegah banjir dan sumber keanekaragaman hayati yang tinggi dikeruk dan ditambang? Tentunya kita akan menghadapi ancaman bencana ekologis yang semakin besar baik dalam skala maupun intensitasnya. Dalam hal ini keselamatan dan keamanan hidup rakyat tidak pernah diperhitungkan oleh pemerintah hanya demi meraup ”tambahan pendapatan negara” dimana hasilnyapun disangsikan bisa berkontribusi bagi kemajuan bangsa apalagi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain bencana ekologis dampak dari adanya PP No.2 tahun 2008 ini juga potensial menimbulkan meluasnya skala konflik baik konflik vertikal antara rakyat yang bermukim dikawasan dan sekitar hutan dengan pemerintah dan perusahaan tambang maupun konflik horizontal yang terjadi diantara rakyat itu sendiri. Lebih jauh PP No.2 tahun 2008 ini akan mengancam tatanan sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat adat/ lokal sebagai konsekuensi dari bentuk tata kelola hutan dan sistem pertambangan saat ini yang mengabaikan nilai-nilai, hak dan kepentingan masyarakat.
Cerminan Ketidakadilan
Siapa kiranya yang paling diuntungkan dari adanya PP No.2 tahun 2008 ini? Tentu pihak yang paling diuntungkan adalah kelompok bisnis dalam hal ini perusahaan tambang dimana mereka mendapatkan kemudahan akses, legalitas formal dari pemerintah dan keuntungan yang cukup besar dari hasil tambang dengan biaya yang murah. Lantas rakyat kebanyakan yang mayoritas kehidupannya diambang garis kemiskinan mendapatkan apa?
Jargon bahwa pertambangan mensejahterakan rakyat sampai saat ini tidak terbukti karena yang terjadi adalah justru berlangsungnya penomena ”kutukan sumberdaya” dimana negara/ wilayah-wilayah kaya akan sumberdaya alam kebanyakan penduduknya miskin. Sementara praktek pertambangan itu sendiri selama ini telah banyak mengusur ruang hidup dan wilayah kelola rakyat, merusak hutan dan menghilangkan keanekaragaman hayati, mencemari sumber air dan lingkungan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan baru di wilayah sekitar tambang.
Di Kalimantan Selatan sendiri berdasarkan catatan WALHI Kalsel saat ini terdapat lebih dari 400an izin konsesi pertambangan batubara termasuk puluhan PMA (Penanam Modal Asing), 1 PMA tambang emas, 1 PMA tambang intan dan beberapa tambang marmer dan bijih besi. Dari itu semua paling tidak tercatat 142.523 Ha masuk dalam kawasan hutan lindung dan 403.335 Ha masuk dalam kawasan hutan produksi. Catatan tersebut belum termasuk beberapa izin yang masih antri di pemerintahan kabupaten dan siap ditindaklanjuti apalagi dengan dikeluarkannya PP No.2 tahun 2008 tersebut.
Ditengah semaraknya eksploitasi pertambangan yang dipromosikan menghasilkan devisa bagi negara, sebesar 31,22% atau sejumlah 994.956 jiwa rakyat Kalimantan Selatan pada tahun 2007 berada dibawah garis kemiskinan. Data BPS (2007) menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menempatkan Kalsel berada pada urutan ke 26 dari 33 propinsi di Indonesia. Intensitas dan skala bencana banjir terus meningkat dan hampir terjadi di seluruh kabupaten di Kalsel, apalagi jika hutan lindung sebagai benteng pertahanan ekologi terakhir juga ikut ditambang maka niscaya rakyat Kalsel mesti siap-siap untuk selalu menghadapi bencana yang lebih besar. Gambaran umum ini sudah cukup menunjukkan bahwa industri pertambangan saat ini tidak dikelola dengan orientasi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat apalagi memenuhi standar pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Kembali Kepada Mandat Rakyat
Diterbitkannya PP No.2 tahun 2008 ini semakin menegaskan akan watak rezim pemerintahan yang kapitalistik dan tidak berpihak kepada kepentingan lingkungan dan rakyatnya. Alasan untuk menambah pendapatan negara mestinya tidak dijadikan argumen untuk takluk dan tunduk dibawah kepentingan kelompok bisnis dalam hal ini para pengusaha tambang dan terutama sekali kelompok perusahaan internasional atau Multi National Corporation (MNC). Saatnya negara ini berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya dengan mengembalikan arah pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan sesuai dengan mandat konstitusi UUD 1945 yang menempatkan kesejahteraan, harkat dan martabat rakyat sebagai orientasi dari seluruh pembangunan bangsa ini. Dan untuk itu dalam hal PP No.2 tahun 2008 maka sudah selayaknya pemerintahan SBY-JK bersegera mencabut kebijakan tersebut sebelum kuasa rakyat mencabut mandat terhadap mereka.
No comments:
Post a Comment