Kultur Kader WALHI yang progresif dan disiplin diperlukan untuk mendukung gerak WALHI. Kader WALHI merupakan tiang penyangga pola gerak WALHI menjadi penting untuk menuju sebuah kultur yang benar-benar menyatu dalam pola geraknya. Organ dan struktur WALHI berada pada pola gerak yang fleksibel namun tetap berada pada sebuah kerangka kerja yang sistemik untuk mampu menjadi sebuah bagian kuat tak terpisahkan dalam pola geraknya.
Budaya kerja dibangun dengan mengedepankan adanya pola komunikasi dan interaksi yang elegan, sehat dan saling melayani diantara para aktivis Walhi yang menempatkan semua orang sebagai makhluk sosial. Bukan budaya kerja yang dibangun dibawah manajemen kerja yang kaku dan mengandalkan job diskripsi semata. Penghargaan diberikan kepada mereka yang berprestasi dan punishment diberikan dengan tegas kepada mereka yang telah terbukti melakukan pelanggaran melalui mekanisme yang ada.
Nilai-nilai dasar ke-WALHI-an mesti diterjemahkan lebih jauh kedalam bentuk panduan umum prilaku organisasi dan para aktivis WALHI. Hal ini untuk memperjelas dan mempertegas sikap, posisi dan langkah gerak WALHI yang dicerminkan dari sikap dan prilaku organisasi dan para aktivisnya. Publik akan mudah membedakan antara WALHI dengan segala apa yang diperjuangkannya dengan kelompok pegiat lingkungan lainnya yang kadang justru merugikan bagi pencitraan WALHI di mata publik. Diharapkan hal ini nantinya akan mampu mendorong adanya prilaku organisasi dan para aktivis WALHI yang mencerminkan kepada ideologi keWALHIanya. Artinya ideologi bukan hanya pada tataran pengetahuan yang selalu diperdebatkan semata namun ideologi mesti menjadi acuan prilaku organisasi dan para aktivisnya.
Monday, March 31, 2008
Sunday, March 23, 2008
Lagi, Tentang WALHI
Memperjelas Struktur Gerak WALHI
Dalam kerangka mempercepat pencapaian visi WALHI, maka struktur gerak WALHI harus dilalui dengan proses perencanaan strategis dari tingkatan terendah hingga di eksekutif nasional. Perencanaan strategis nasional merupakan akumulasi dari perencanaan strategis yang dibuat di tingkatan lokal.
Pembagian peran WALHI di tingkat nasional dan daerah dipertegas. Eksekutif Nasional WALHI melakukan kerja-kerja advokasi tingkat nasional dan internasional yang merupakan hasil rajutan dari kerja-kerja yang dilakukan di tingkat basis massa rakyat, organisasi anggota dan eksekutif daerah; asistensi dan penguatan kerja-kerja di tingkat lokal; penggalian sumberdaya pendukung gerakan.
Pada beberapa kerja advokasi tingkat nasional dan internasional, EN WALHI dapat mendistribusikan kerja-kerja (yang disertai dengan perangkat pendukungnya) pada tingkatan region melalui dinamisator region. Peran EN WALHI dalam advokasi adalah pada isu-isu yang strategis dan non sektoral, pengawalan terhadap kebijakan (hukum dan perundangan) nasional dan internasional, serta berhubungan dengan tanggung jawab negara.
Organ-organ gerak WALHI, baik organisasi massa rakyat, organisasi anggota, maupun dinamisator daerah dan region kepulauan, dikuatkan secara kolektif. Distribusi kekuatan pendukung, baik logistik material maupun kapasitas pegiat lingkungan hidup, harus terdistribusi dengan baik pada berbagai tingkatan organ WALHI.
Dalam kerangka mempercepat pencapaian visi WALHI, maka struktur gerak WALHI harus dilalui dengan proses perencanaan strategis dari tingkatan terendah hingga di eksekutif nasional. Perencanaan strategis nasional merupakan akumulasi dari perencanaan strategis yang dibuat di tingkatan lokal.
Pembagian peran WALHI di tingkat nasional dan daerah dipertegas. Eksekutif Nasional WALHI melakukan kerja-kerja advokasi tingkat nasional dan internasional yang merupakan hasil rajutan dari kerja-kerja yang dilakukan di tingkat basis massa rakyat, organisasi anggota dan eksekutif daerah; asistensi dan penguatan kerja-kerja di tingkat lokal; penggalian sumberdaya pendukung gerakan.
Pada beberapa kerja advokasi tingkat nasional dan internasional, EN WALHI dapat mendistribusikan kerja-kerja (yang disertai dengan perangkat pendukungnya) pada tingkatan region melalui dinamisator region. Peran EN WALHI dalam advokasi adalah pada isu-isu yang strategis dan non sektoral, pengawalan terhadap kebijakan (hukum dan perundangan) nasional dan internasional, serta berhubungan dengan tanggung jawab negara.
Organ-organ gerak WALHI, baik organisasi massa rakyat, organisasi anggota, maupun dinamisator daerah dan region kepulauan, dikuatkan secara kolektif. Distribusi kekuatan pendukung, baik logistik material maupun kapasitas pegiat lingkungan hidup, harus terdistribusi dengan baik pada berbagai tingkatan organ WALHI.
Thursday, March 20, 2008
WALHI, Kerja Kolektif dan Terpimpin
Hilangnya sumber-sumber kehidupan rakyat dan semakin meningkatnya kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh sebuah sistem kapitalistik yang sistemik dan terstruktur, mengharuskan WALHI menggunakan pola kerja yang sistemik dan terstruktur pula, dengan melakukan inovasi dalam proses advokasi yang dilakukan. 400an anggota WALHI yang ada saat ini harus digerakkan secara bersama untuk menyelamatkan sumber-sumber kehidupan rakyat dan lingkungan hidup. Kondisi lokal yang beragam menjadi sebuah kekuatan dalam gerakan sosial dan politik lingkungan hidup yang dibangun oleh WALHI namun tetap mesti terorganisir dan terpimpin.
Pencapaian target yang tertuang dalam Rencana Strategis WALHI 2008-2010 yang akan dikonkretkan melalui mandat PNLH X nanti mesti dilakukan melalui kerja-kerja kolektif yang terstruktur. Meletakkan kembali kepercayaan pada basis massa dalam menuju perubahan adalah suatu keharusan. Gerak massa kolektif dan terpimpin akan memberikan perubahan nyata bagi kebutuhan kehidupan rakyat. WALHI mesti mampu mendayagunakan segenap potensi organisasi, para pendukung dan basis massanya.
Pencapaian target yang tertuang dalam Rencana Strategis WALHI 2008-2010 yang akan dikonkretkan melalui mandat PNLH X nanti mesti dilakukan melalui kerja-kerja kolektif yang terstruktur. Meletakkan kembali kepercayaan pada basis massa dalam menuju perubahan adalah suatu keharusan. Gerak massa kolektif dan terpimpin akan memberikan perubahan nyata bagi kebutuhan kehidupan rakyat. WALHI mesti mampu mendayagunakan segenap potensi organisasi, para pendukung dan basis massanya.
Wednesday, March 19, 2008
PP No.2 Tahun 2008, Menggadaikan Keselamatan Hidup Rakyat
Satu lagi kebijakan rezim SBY-JK yang dengan tanpa malu-malu telah menggadaikan keselamatan hidup rakyat Indonesia. Betapa tidak, kawasan hutan lindung yang mestinya dijaga dan dilindungi agar tetap bisa berfungsi sebagai kawasan ekosistem penyangga dan tempat bergantung keberlangsungan kehidupan jutaan rakyat Indonesia bisa dilepas begitu saja kepada perusahaan tambang untuk dieksploitasi hanya dengan biaya Rp.300,- per meter persegi pertahun atau tidak lebih dari harga sepotong pisang goreng. Sungguh ironis memang, ditengah berbagai kejadian bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor yang terus meluas dan semakin meningkatnya kesadaran publik akan pentingnya penyelamatan hutan dan lingkungan hidup, rezim SBY-JK justru bertindak sebaliknya dengan membuka ruang yang besar bagi pertambangan dikawasan hutan dengan menerbitkan PP No. 2 tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan Diluar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan.
Ancaman Bagi Keselamatan Hidup Rakyat
Apa jadinya jika kawasan hutan lindung sebagai basis pertahanan ekologi terakhir yang berfungsi sebagai kawasan penyangga yang berperan dalam menjaga keseimbangan iklim, mengatur tata air yang dapat menampung air, mengendalikan erosi dan mencegah banjir dan sumber keanekaragaman hayati yang tinggi dikeruk dan ditambang? Tentunya kita akan menghadapi ancaman bencana ekologis yang semakin besar baik dalam skala maupun intensitasnya. Dalam hal ini keselamatan dan keamanan hidup rakyat tidak pernah diperhitungkan oleh pemerintah hanya demi meraup ”tambahan pendapatan negara” dimana hasilnyapun disangsikan bisa berkontribusi bagi kemajuan bangsa apalagi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain bencana ekologis dampak dari adanya PP No.2 tahun 2008 ini juga potensial menimbulkan meluasnya skala konflik baik konflik vertikal antara rakyat yang bermukim dikawasan dan sekitar hutan dengan pemerintah dan perusahaan tambang maupun konflik horizontal yang terjadi diantara rakyat itu sendiri. Lebih jauh PP No.2 tahun 2008 ini akan mengancam tatanan sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat adat/ lokal sebagai konsekuensi dari bentuk tata kelola hutan dan sistem pertambangan saat ini yang mengabaikan nilai-nilai, hak dan kepentingan masyarakat.
Cerminan Ketidakadilan
Siapa kiranya yang paling diuntungkan dari adanya PP No.2 tahun 2008 ini? Tentu pihak yang paling diuntungkan adalah kelompok bisnis dalam hal ini perusahaan tambang dimana mereka mendapatkan kemudahan akses, legalitas formal dari pemerintah dan keuntungan yang cukup besar dari hasil tambang dengan biaya yang murah. Lantas rakyat kebanyakan yang mayoritas kehidupannya diambang garis kemiskinan mendapatkan apa?
Jargon bahwa pertambangan mensejahterakan rakyat sampai saat ini tidak terbukti karena yang terjadi adalah justru berlangsungnya penomena ”kutukan sumberdaya” dimana negara/ wilayah-wilayah kaya akan sumberdaya alam kebanyakan penduduknya miskin. Sementara praktek pertambangan itu sendiri selama ini telah banyak mengusur ruang hidup dan wilayah kelola rakyat, merusak hutan dan menghilangkan keanekaragaman hayati, mencemari sumber air dan lingkungan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan baru di wilayah sekitar tambang.
Di Kalimantan Selatan sendiri berdasarkan catatan WALHI Kalsel saat ini terdapat lebih dari 400an izin konsesi pertambangan batubara termasuk puluhan PMA (Penanam Modal Asing), 1 PMA tambang emas, 1 PMA tambang intan dan beberapa tambang marmer dan bijih besi. Dari itu semua paling tidak tercatat 142.523 Ha masuk dalam kawasan hutan lindung dan 403.335 Ha masuk dalam kawasan hutan produksi. Catatan tersebut belum termasuk beberapa izin yang masih antri di pemerintahan kabupaten dan siap ditindaklanjuti apalagi dengan dikeluarkannya PP No.2 tahun 2008 tersebut.
Ditengah semaraknya eksploitasi pertambangan yang dipromosikan menghasilkan devisa bagi negara, sebesar 31,22% atau sejumlah 994.956 jiwa rakyat Kalimantan Selatan pada tahun 2007 berada dibawah garis kemiskinan. Data BPS (2007) menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menempatkan Kalsel berada pada urutan ke 26 dari 33 propinsi di Indonesia. Intensitas dan skala bencana banjir terus meningkat dan hampir terjadi di seluruh kabupaten di Kalsel, apalagi jika hutan lindung sebagai benteng pertahanan ekologi terakhir juga ikut ditambang maka niscaya rakyat Kalsel mesti siap-siap untuk selalu menghadapi bencana yang lebih besar. Gambaran umum ini sudah cukup menunjukkan bahwa industri pertambangan saat ini tidak dikelola dengan orientasi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat apalagi memenuhi standar pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Kembali Kepada Mandat Rakyat
Diterbitkannya PP No.2 tahun 2008 ini semakin menegaskan akan watak rezim pemerintahan yang kapitalistik dan tidak berpihak kepada kepentingan lingkungan dan rakyatnya. Alasan untuk menambah pendapatan negara mestinya tidak dijadikan argumen untuk takluk dan tunduk dibawah kepentingan kelompok bisnis dalam hal ini para pengusaha tambang dan terutama sekali kelompok perusahaan internasional atau Multi National Corporation (MNC). Saatnya negara ini berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya dengan mengembalikan arah pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan sesuai dengan mandat konstitusi UUD 1945 yang menempatkan kesejahteraan, harkat dan martabat rakyat sebagai orientasi dari seluruh pembangunan bangsa ini. Dan untuk itu dalam hal PP No.2 tahun 2008 maka sudah selayaknya pemerintahan SBY-JK bersegera mencabut kebijakan tersebut sebelum kuasa rakyat mencabut mandat terhadap mereka.
Ancaman Bagi Keselamatan Hidup Rakyat
Apa jadinya jika kawasan hutan lindung sebagai basis pertahanan ekologi terakhir yang berfungsi sebagai kawasan penyangga yang berperan dalam menjaga keseimbangan iklim, mengatur tata air yang dapat menampung air, mengendalikan erosi dan mencegah banjir dan sumber keanekaragaman hayati yang tinggi dikeruk dan ditambang? Tentunya kita akan menghadapi ancaman bencana ekologis yang semakin besar baik dalam skala maupun intensitasnya. Dalam hal ini keselamatan dan keamanan hidup rakyat tidak pernah diperhitungkan oleh pemerintah hanya demi meraup ”tambahan pendapatan negara” dimana hasilnyapun disangsikan bisa berkontribusi bagi kemajuan bangsa apalagi bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Selain bencana ekologis dampak dari adanya PP No.2 tahun 2008 ini juga potensial menimbulkan meluasnya skala konflik baik konflik vertikal antara rakyat yang bermukim dikawasan dan sekitar hutan dengan pemerintah dan perusahaan tambang maupun konflik horizontal yang terjadi diantara rakyat itu sendiri. Lebih jauh PP No.2 tahun 2008 ini akan mengancam tatanan sosial-budaya, ekonomi dan politik masyarakat adat/ lokal sebagai konsekuensi dari bentuk tata kelola hutan dan sistem pertambangan saat ini yang mengabaikan nilai-nilai, hak dan kepentingan masyarakat.
Cerminan Ketidakadilan
Siapa kiranya yang paling diuntungkan dari adanya PP No.2 tahun 2008 ini? Tentu pihak yang paling diuntungkan adalah kelompok bisnis dalam hal ini perusahaan tambang dimana mereka mendapatkan kemudahan akses, legalitas formal dari pemerintah dan keuntungan yang cukup besar dari hasil tambang dengan biaya yang murah. Lantas rakyat kebanyakan yang mayoritas kehidupannya diambang garis kemiskinan mendapatkan apa?
Jargon bahwa pertambangan mensejahterakan rakyat sampai saat ini tidak terbukti karena yang terjadi adalah justru berlangsungnya penomena ”kutukan sumberdaya” dimana negara/ wilayah-wilayah kaya akan sumberdaya alam kebanyakan penduduknya miskin. Sementara praktek pertambangan itu sendiri selama ini telah banyak mengusur ruang hidup dan wilayah kelola rakyat, merusak hutan dan menghilangkan keanekaragaman hayati, mencemari sumber air dan lingkungan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan baru di wilayah sekitar tambang.
Di Kalimantan Selatan sendiri berdasarkan catatan WALHI Kalsel saat ini terdapat lebih dari 400an izin konsesi pertambangan batubara termasuk puluhan PMA (Penanam Modal Asing), 1 PMA tambang emas, 1 PMA tambang intan dan beberapa tambang marmer dan bijih besi. Dari itu semua paling tidak tercatat 142.523 Ha masuk dalam kawasan hutan lindung dan 403.335 Ha masuk dalam kawasan hutan produksi. Catatan tersebut belum termasuk beberapa izin yang masih antri di pemerintahan kabupaten dan siap ditindaklanjuti apalagi dengan dikeluarkannya PP No.2 tahun 2008 tersebut.
Ditengah semaraknya eksploitasi pertambangan yang dipromosikan menghasilkan devisa bagi negara, sebesar 31,22% atau sejumlah 994.956 jiwa rakyat Kalimantan Selatan pada tahun 2007 berada dibawah garis kemiskinan. Data BPS (2007) menunjukkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menempatkan Kalsel berada pada urutan ke 26 dari 33 propinsi di Indonesia. Intensitas dan skala bencana banjir terus meningkat dan hampir terjadi di seluruh kabupaten di Kalsel, apalagi jika hutan lindung sebagai benteng pertahanan ekologi terakhir juga ikut ditambang maka niscaya rakyat Kalsel mesti siap-siap untuk selalu menghadapi bencana yang lebih besar. Gambaran umum ini sudah cukup menunjukkan bahwa industri pertambangan saat ini tidak dikelola dengan orientasi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat apalagi memenuhi standar pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Kembali Kepada Mandat Rakyat
Diterbitkannya PP No.2 tahun 2008 ini semakin menegaskan akan watak rezim pemerintahan yang kapitalistik dan tidak berpihak kepada kepentingan lingkungan dan rakyatnya. Alasan untuk menambah pendapatan negara mestinya tidak dijadikan argumen untuk takluk dan tunduk dibawah kepentingan kelompok bisnis dalam hal ini para pengusaha tambang dan terutama sekali kelompok perusahaan internasional atau Multi National Corporation (MNC). Saatnya negara ini berdaulat secara politik, ekonomi dan budaya dengan mengembalikan arah pembangunan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan sesuai dengan mandat konstitusi UUD 1945 yang menempatkan kesejahteraan, harkat dan martabat rakyat sebagai orientasi dari seluruh pembangunan bangsa ini. Dan untuk itu dalam hal PP No.2 tahun 2008 maka sudah selayaknya pemerintahan SBY-JK bersegera mencabut kebijakan tersebut sebelum kuasa rakyat mencabut mandat terhadap mereka.
VISI DAN MISI sebagai Kandidat WALHI1
Dalam merumuskan visi misi ini saya tetap mengacu kepada visi misi dan mandat organisasi karena cita-cita organisasi bukan dibangun hanya atas kehendak pemimpinnya semata. Tugas pemimpin WALHI adalah bagaimana memajukan organisasi dan memastikan berjalankan visi misi dan mandat organisasi yang telah dirumuskan bersama konstituen dalam forum-forum resmi WALHI secara demokratis dan partisipatif.
Visi misi pemimpin mengelaborasi berbagai cita-cita dan mimpi para konstituennya dengan melihat kondisi obyektif yang ada kedalam visi misi praktis-nya terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Visi Praktis Terhadap WALHI
Sebagai organisasi jaringan advokasi lingkungan hidup tertua dan terbesar di Indonesia WALHI kedepan mesti memantapkan diri lebih maju bukan hanya sebagai lokomotif gerakan lingkungan tetapi lebih jauh lagi mampu menjadi lokomotif gerakan sosial, dan untuk itu Visi saya terhadap WALHI kedepan adalah Mewujudkan organisasi WALHI mampu mendorong isu lingkungan hidup menjadi agenda utama perubahan sosial di Indonesia.
Misi
Dalam mewujudkan organisasi WALHI mampu mendorong isu lingkungan hidup agar menjadi agenda utama terjadinya perubahan sosial di Indonesia, saya memberi focus kepada 3 prasyarat yang mesti dipenuhi yaitu : kekuatan rakyat; kekuatan organisional WALHI; dan kekuatan hukum dan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan.
Misi 1
Agar gerakan WALHI ditopang oleh kekuatan rakyat, saya menetapkan misi untuk Menjadikan organisasi WALHI menjadi organisasi lingkungan yang berbasis komunitas (gerakan akar rumput) dengan cara menciptakan kader-kader WALHI yang mampu melakukan pengorganisasian dan membangun komunitas-komunitas peduli lingkungan yang tersebar di seluruh Eksekutif Daerah WALHI.
Misi 2
Pertarungan-pertarungan terbesar persoalan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam akan terjadi di daerah-daerah dimana para Eksekutif Daerah (WALHI Daerah) beraktivitas sehingga untuk itu daya dobrak WALHI kedepan mesti ditopang oleh WALHI Daerah yang kuat. Oleh karena itu misi kedua saya adalah memperkuat kapasitas dan kemandirian WALHI Daerah. Dan ini akan terjadi jika kebijakan Eksekutif Nasional mampu memfasilitasi transpormasi pengetahuan dan kapasitas yang berasal dari seluruh komponen WALHI dan menempatkan WALHI-WALHI di daerah sebagai pusat aktivitas perjuangan yang dilakukan. Kemampuan dan daya dobrak organisasi ini akan kuat secara nasional jika WALHI Daerah kuat dan lebih mandiri.
Misi 3
WALHI menyadari bahwa dalam mewujudkan cita-citanya jalan yang selama ini ditempuh melalui gerakan sosial-advokasi semata ternyata tidaklah cukup mampu mengubah kebijakan negara dan situasi sosial-ekonomi-politik yang berwatak neolib yang menguras dan menindas kearah keberpihakan kepada kepentingan lingkungan dan kepentingan rakyat. Sehingga untuk itu pada PNLH IX di Mataram tahun 2005 yang lalu WALHI memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan organisasi politik diluar tubuh WALHI yang akan memperjuangkan cita-cita WALHI melalu ranah politik praktis yang dalam perjalanannya lahirlah yang namanya Sarekat Hijau Indonesia. WALHI sendiri tetap sebagai organisasi penekan (pressure groups) yang independen.
Dua organ ini mesti berjalan sinergis untuk saling memperkuat sehingga mampu mendorong terjadinya perubahan sosial-politik kedepannya sebagaimana yang dicita-citakan dan ini mesti terkawal dengan baik jika kita tidak ingin gerakan yang kita bangun selama ini menjadi mundur kembali. Untuk itu misi ketiga saya adalah Memperkuat gerakan politik lingkungan melalui sinergisitas gerakan sosial yang dibangun oleh WALHI dengan gerakan politik yang dibangun sayap politik WALHI yaitu Sarekat Hijau Indonesia.
Visi misi pemimpin mengelaborasi berbagai cita-cita dan mimpi para konstituennya dengan melihat kondisi obyektif yang ada kedalam visi misi praktis-nya terhadap organisasi yang dipimpinnya.
Visi Praktis Terhadap WALHI
Sebagai organisasi jaringan advokasi lingkungan hidup tertua dan terbesar di Indonesia WALHI kedepan mesti memantapkan diri lebih maju bukan hanya sebagai lokomotif gerakan lingkungan tetapi lebih jauh lagi mampu menjadi lokomotif gerakan sosial, dan untuk itu Visi saya terhadap WALHI kedepan adalah Mewujudkan organisasi WALHI mampu mendorong isu lingkungan hidup menjadi agenda utama perubahan sosial di Indonesia.
Misi
Dalam mewujudkan organisasi WALHI mampu mendorong isu lingkungan hidup agar menjadi agenda utama terjadinya perubahan sosial di Indonesia, saya memberi focus kepada 3 prasyarat yang mesti dipenuhi yaitu : kekuatan rakyat; kekuatan organisional WALHI; dan kekuatan hukum dan kebijakan yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan lingkungan.
Misi 1
Agar gerakan WALHI ditopang oleh kekuatan rakyat, saya menetapkan misi untuk Menjadikan organisasi WALHI menjadi organisasi lingkungan yang berbasis komunitas (gerakan akar rumput) dengan cara menciptakan kader-kader WALHI yang mampu melakukan pengorganisasian dan membangun komunitas-komunitas peduli lingkungan yang tersebar di seluruh Eksekutif Daerah WALHI.
Misi 2
Pertarungan-pertarungan terbesar persoalan lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam akan terjadi di daerah-daerah dimana para Eksekutif Daerah (WALHI Daerah) beraktivitas sehingga untuk itu daya dobrak WALHI kedepan mesti ditopang oleh WALHI Daerah yang kuat. Oleh karena itu misi kedua saya adalah memperkuat kapasitas dan kemandirian WALHI Daerah. Dan ini akan terjadi jika kebijakan Eksekutif Nasional mampu memfasilitasi transpormasi pengetahuan dan kapasitas yang berasal dari seluruh komponen WALHI dan menempatkan WALHI-WALHI di daerah sebagai pusat aktivitas perjuangan yang dilakukan. Kemampuan dan daya dobrak organisasi ini akan kuat secara nasional jika WALHI Daerah kuat dan lebih mandiri.
Misi 3
WALHI menyadari bahwa dalam mewujudkan cita-citanya jalan yang selama ini ditempuh melalui gerakan sosial-advokasi semata ternyata tidaklah cukup mampu mengubah kebijakan negara dan situasi sosial-ekonomi-politik yang berwatak neolib yang menguras dan menindas kearah keberpihakan kepada kepentingan lingkungan dan kepentingan rakyat. Sehingga untuk itu pada PNLH IX di Mataram tahun 2005 yang lalu WALHI memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan organisasi politik diluar tubuh WALHI yang akan memperjuangkan cita-cita WALHI melalu ranah politik praktis yang dalam perjalanannya lahirlah yang namanya Sarekat Hijau Indonesia. WALHI sendiri tetap sebagai organisasi penekan (pressure groups) yang independen.
Dua organ ini mesti berjalan sinergis untuk saling memperkuat sehingga mampu mendorong terjadinya perubahan sosial-politik kedepannya sebagaimana yang dicita-citakan dan ini mesti terkawal dengan baik jika kita tidak ingin gerakan yang kita bangun selama ini menjadi mundur kembali. Untuk itu misi ketiga saya adalah Memperkuat gerakan politik lingkungan melalui sinergisitas gerakan sosial yang dibangun oleh WALHI dengan gerakan politik yang dibangun sayap politik WALHI yaitu Sarekat Hijau Indonesia.
Subscribe to:
Posts (Atom)