Sumberdaya energi merupakan kebutuhan
pokok dan merupakan komponen mutlak untuk membangun sebuah peradaban masyarakat
suatu bangsa ataupun dunia saat ini.
Ketiadaan sumberdaya energi atau ketidakmampuan suatu masyarakat atau
negara dalam menyediakan
sumberdaya energi mengakibatkan lemahnya kemampuan suatu masyarakat atau negara tersebut dalam membangun
peradabannya. Bahkan bisa berujung
pada terjadinya krisis multidimensi yaitu krisis di segala bidang kehidupan.
Kalimantan Selatan, salah satu propinsi
yang kaya akan sumber bahan baku energi berupa batubara dan potensi alam
lainnya namun dalam pemenuhan energi listrik masih belum mampu memenuhi
kebutuhan warganya baik secara kuantitas maupun kualitasnya. Menurut Dinas Pertambangan dan Energi
Kalimantan Selatan sampai tahun 2012 masih terdapat 162 desa yang belum
dijangkau oleh aliran listrik dari Perusahaan Litrik Negara (PLN). Bagi penduduk yang sudah mendapatkan
pelayanan listrik dari PLN mesti sabar mengurut dada karena seringnya pemadaman
listrik alias “mati lampu”. Sehingga menjadi wajar belakangan ini sebagian
warga Kalimantan Selatan menyerukan boikot bayar tagihan listrik, melakukan
aksi, menggalang koin untuk pembangkit independen dan meminta Pemerintah Daerah
pro aktif turut mendesak PLN dan Pemerintah Pusat untuk segera menyelesaikan
persoalan “mati lampu” ini atau fasilitasi pemenuhan energi listrik secara
mandiri bagi daerah.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Bukankah ratusan juta ton setiap tahunnya batubara dari daerah ini
dieksploitasi? Bukankah kita memiliki sumberdaya energi lainnya berupa potensi
gas, tenaga air, matahari, angin, dan lainnya. Sangat disayangkan jika sampai
saat ini kita tidak mampu memanfaatkan dan mengoptimalkan potensi yang ada
tersebut. Apa yang salah dalam pengelolaan sumberdaya energi kita?
Ternyata batubara Kalsel yang puluhan
bahkan ratusan juta ton dieksploitasi setiap tahunnya hanya sedikit sekali yang
digunakan untuk kebutuhan pemenuhan energi listrik di daerah ini. Hasil penelitian
WALHI Kalsel pada tahun 2008 menyebutkan dari total produksi batubara
Kalimantan Selatan hanya 1,69% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan
energi pembangkit listrik di Kalsel, selebihnya 70% di ekspor dan kurang lebih
28% untuk kebutuhan Jawa- Bali.
Pembangkit Listrik Tenga Air (PLTA) Riam
Kanan yang listriknya digunakan untuk menerangi wilayah Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah namun tidak mampu (baca: tidak mau) memberikan layanan
jangkauan listrik kepada masyarakat yang berada di wilayah hulu bendungan yang
notabene adalah warga yang dikorbankan untuk pembangunan PLTA tersebut.
Disisi lainnya, sumberdaya energi berupa
gas alam, tenaga air, matahari dan lainnya belum dimanfaatkan secara optimal.
Seperti potensi tenaga air yang berlimpah dimana terdapat ratusan anak sungai di
kawasan pegunungan meratus yang jika dimanfaatkan melalui teknologi mikrohidro akan
bisa menerangi ratusan desa/kampung yang ada disana.
Sementara itu pemenuhan energi listrik di
pulau Jawa dan kota-kota besar disana jauh lebih baik dibanding dengan pemenuhan
energi listrik di pulau lainnya termasuk juga Kalimantan Selatan. Hal ini
memperlihatkan ketimpangan yang begitu nyata dimana Kalimantan Selatan sebagai salah
satu penghasil bahan baku sumberdaya energi terbesar di negari ini justru tidak
mendapatkan porsi pemenuhan energi listrik yang memadai.
Dari gambaran diatas menggambarkan bahwa
persoalan krisis listrik alias “mati lampu” bukanlah karena ketiadaan
sumberdaya energi di suatu wilayah atau ketidak-mampuan membangun pembangkit
dan infrastrukturnhya namun lebih jauh karena praktik ketidakadilan yang dilakukan
melalui politik pasar bebas yang menyebabkan terjadinya ketimpangan tata kuasa,
tata produksi dan tata konsumsinya.
Sehingga sumberdaya energi bukan mengalir untuk memenuhi kebutuhan warga
negara secara adil namun malah mengalir jauh ke kota-kota besar dan negeri
seberang sana.
Sebenarnya
penomena “mati lampu” ini masih bisa diatasi jika pemerintah daerah Kalimantan
Selatan dan anggota legislatifnya (baik yg di daerah maupun yang di pusat)
lebih pro-aktif bekerja dengan semangat pengabdian dan mengutamakan kepentingan
rakyatnya. Namun sangat disayangkan yang terjadi justru mereka sepertinya “mati
kutu” ketika dihadapkan pada masalah ini. Pemerintah daerah selalu berlindung dibalik
“kewenangan pusat” dan “kewenganan PLN” seakan-akan tidak ada yang bisa
dilakukan dengan kemampuan dan kewenangan sendiri. Anggota legislatif yang di DPR-RI maupun di DPD-RI bahkan
nyaris tidak terdengar suaranya membela kepentingan daerah. Sementara DPRDnya
tidak cukup kuat (kurang keberanian) untuk menekan eksekutif baik di daerah
maupun di pusat.
Kemudian situasi
inilah yang saya kira mendorong mulai bergejolaknya gerakan masyarakat sipil
seperti mahasiswa, sebagian kalangan akademisi, LSM, Ormas dan lainnya untuk
turun ke jalan. Hanya sayangnya gerakan inipun masih kurang mendapat dukungan
luas yang signifikan dari masyarakat umum lainnya. Mengapa? Kemungkinannya banyak sekali, bisa saja karena
kampanye kurang menarik, strateginya kurang tepat, atau jangan-jangan
masyarakat kita memang sudah apatis alias “mati rasa”. Kondisi ini menjadi tantangan
tersendiri yang mesti dijawab di 2013 oleh kelompok gerakan masyarakat sipil
sendiri.
Inilah gambaran
kondisi Kalimantan Selatan di 2012, rupanya ketidak-adilan itu juga bernama
“mati lampu”, dan sayangnya pemerintah daerahnya “mati kutu” sementara warganya
sebagian besar sudah “mati rasa”.
Lantas bagaimana dengan 2013? Jika semuanya tidak mau beranjak dari
kondisi masing-masing maka bisa dipastikan tidak akan ada perubahan. Namun
mengawali 2013 kita tetap mesti optimis, karena masih ada orang-orang dan
kelompok-kelompok yang terus bersuara dan bergerak untuk meraih keadilan dan
mewujudkan kesejahteraan.
Pilihannya bergabung, untuk perubahan di 2013 atau tetap larut dalam “mati lampu,” lantas ikutan “mati
kutu” dan akhirnya terjebak dalam “mati rasa.” Gelap gulita
atau pilih terang benderang, terserah anda! Selamat menjalani 2013. Selesai.
###