Belakangan isu terkait korupsi kembali mengemuka dan mendapat perhatian publik luas. Kriminalisasi terhadap dua pejabat KPK telah memicu perlawanan dari kelompok gerakan anti korupsi yang kemudian mendapat dukungan dan perhatian luas dari berbagai kalangan yang saat ini kian hari terus membesar. Gerakan masyarakat sipil melawan korupsi kembali menggeliat dan banyak kalangan kembali tersadar setelah melihat indikasi kuat adanya berbagai upaya pelemahan dan pengkebirian terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Korupsi memang sesuatu yang sudah sangat menggurita di negeri kita yang tercinta ini. Bagaikan wabah dia menular dan menjangkiti siapa saja, tak peduli laki atau perempuan, tua atau muda, pejabat atau bukan pejabat, elit atau bukan elit. Kelompok para elit dan pejabat melakukan korupsi untuk kepentingan memperbesar pundi-pundi mereka yang sebenarnya sudah lebih dari cukup atau sebagai sarana mendapatkan uang untuk memerluas dan memperkokoh cengkeraman kekuasaan mereka baik melalui perorangan maupun kelompok. Sedang bagi kelompok bawahan korupsi adalah untuk keluar dari himpitan hidup dan memenuhi kebutuhan dasar keluarga, mereka terhimpit oleh berbagai kebijakan dan birokrasi yang memaksa mereka melakukannya. Oleh karenanya upaya untuk memberantasnya memang tidaklah mudah, perlu kebijakan politik yang kuat dari para pemegang kekuasaan negeri ini ditambah komitmen warganya untuk keluar dari praktek busuk korupsi.
Korupsi bukan saja merugikan keuangan negara namun lebih jauh korupsi telah menyebabkan berbagai persoalan sosial dan lingkungan hidup. Korupsi telah menyebabkan kemiskinan karena hilangnnya akses rakyat terhadap sumber-sumber kehidupan mereka. Korupsi telah menyebabkan hilangnnya jaminan hak-hak dasar hidup warga. Bahkan korupsi berperan besar dalam hal terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan hidup yang berujung pada bencana ekologis yaitu kolapsnya pranata (sosial dan lingkungan) kehidupan masyarakat.
Praktek korupsi telah memuluskan berbagai undang-undang dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan keselamatan hidup warga dan lingkungan hidup. Korupsi kebijakan, dimana berbagai undang-undang dan kebijakan yang ada dibuat untuk kepentingan sekelompok orang yaitu para elit kekuasaan dan pemilik modal padahal mestinya undang-undang dibuat untuk kepentingan seluruh warga. Sebagai contoh lahirnya berbagai undang-undang sektoral yang berhubungan dengan pengurusan alam seperti : 1) UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas; 2) UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; 3) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; 4) UU No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan; 5) UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan; 6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 7) UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang; 8) UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan 9) UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara. Semua undang-undang tersebut mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi dan liberalisasi sumber-sumber kehidupan rakyat, pengurusan sumber-sumber kehidupan rakyat diserahkan kepada korporasi dan mekanisme pasar. Hal ini telah melanggar amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 2: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Praktek korupsi juga menyebabkan pengurusan sumberdaya alam di negeri ini menjadi tidak terkendali, sangat eksploitatif tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungannya sehingga menyebabkan merosotnya kondisi lingkungan hidup yang cukup parah bahkan di beberapa tempat sudah sangat melebihi ambang batas sehingga menyebabkan terjadinya bencana ekologis yang berdampak pada melemahnya kemampuan warga dalam memenuhi kebutuhan dasarnya hidup mereka. Berbagai perizinan eksploitasi tambang, hutan, pesisir dan laut mengalir tanpa prosedur dan proses yang benar, Banyak Izin diberikan tanpa sebelumnya melakukan Amdal dan persyaratan standar lainnya. Semua ini dimungkinkan karena ada uang sogok dan suap bagi pemberi izin alias praktek korupsi. Hasilnya juga banyak yang tidak masuk ke kas negara karena digunakan untuk membayar "jatah" oknum-oknum pejabat. Penegakan hukum dibidang lingkungan hidup juga cenderung mandul karena adanya praktek korupsi. Illegal logging, illegal mining, illegal fishing terus terjadi tanpa mampu dikendalikan. Sekali lagi negara dirugikan dan rakyat yang menanggung dampak buruknya berupa hilangnnya sumber mata pencaharian mereka, banjir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan, ketiadaan air bersih, gagal tanam dan gagal panen. Padahal konstitusi mengamanatkan : Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 45 menyebutkan“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan'. Sedangkan Pasal 33 ayat (4) berbunyi 'Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional'.
Memang besar sekali dampak dari praktek busuk korupsi, sangat luas dan menghancurkan tatanan sosial dan lingkungan. Jadi tidak ada lagi tawar menawar untuk melakukan pemberantasan korupsi di negeri ini. KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi mesti didukung dan terus diperkuat. Berbagai upaya pelemahan terhadap KPK adalah sebuah bentuk pengkhiatan terhadap konstitusi dan cita-cita rakyat di negeri Indonesia tercinta ini.