"Pembangunan Berbuah Bencana"
Pengantar
Terjadinya banjir besar di empat kabupaten pada bulan Juni lalu kiranya cukup memberikan gambaran tentang bagaimana kondisi lingkungan hidup terutama kawasan hutan di Kalimantan Selatan yang mengalami degradasi cukup parah. Belum lagi selesai berbenah akibat dampak banjir tersebut, pada bulan Agustus sampai dengan bulan November masyarakat Kalsel dihadapkan lagi pada persoalan yang tidak kalah serius yaitu kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan terjadinya kabut asap dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan terutama bagi kesehatan manusia. Pada musim hujan banua ini mengalami musibah kebanjiran dan musim kemarau kita mengalami kekeringan, kebakaran hutan dan lahan yang berujung kepada bencana asap yang cukup menderitakan sebagian besar masyarakat kita.
Bencana banjir, kekeringan dan kabut asap yang terjadi pada tahun 2006 di banua ini jelas bukanlah karena faktor alam semata namun lebih kepada disebabkan oleh kesalahan manusianya yang salah urus dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Sebagaimana disebutkan oleh Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), “Bencana pembangunan, terjadi sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial.” Pembangunan yang hanya menekankan kepada kepentingan ekonomi semata pada akhirnya telah mengamcam keselamatan keberlangsungan kehidupan rakyat. Dan ketika bencana telah datang, pertanyaan kita adalah siapa yang paling dirugikan akibat terjadinya bencana tersebut? Apakah para pejabat-penguasa, para pengusaha atau rakyat marginal kebanyakan?
Pembangunan Tak Berprespektif Lingkungan
Pembangunan ekonomi yang berlangsung selama ini telah menempatkan sumber daya alam hanyalah sebagai onggokan komoditi semata. Oleh karenanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam dilakukan secara massif dan berlebihan dengan mengabaikan aspek ekologi-lingkungan, sosial dan kemungkinaan dampak bencana yang ditimbulkannya. Jikapun ada beberapa kebijakan dan pembangunan yang pro lingkungan namun tetap saja tidak mampu membendung laju kerusakan lingkungan yang terus berlangsung karena posisinya yang memang hanya dijadikan sebagai “alat pelengkap” saja agar kelihatan akomodatif dan bervisi berkelanjutan. Dan “pembangunan berkelanjutan” yang selama ini digandang-gadang oleh pemerintah ternyata pada kenyataannya masih tetap mengedepankan kepentingan ekonomi (jangka pendek) ketimbang keberlanjutan kehidupan itu sendiri. Hanya “pembangunannya” yang terus berlanjut sedangkan keberlangsungan perikehidupannya terabaikan. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan sudah melebihi daya dukung lingkungan yang ada dan melampaui ambang batas.
Berbagai kebijakan pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat cenderung mempermudah jalan bagi terlaksananya eksploitasi yang massif tanpa memperhitungkan keseimbangan lingkungan. Kawasan-kawasan hutan yang semestinya dilindungi dan berfungsi sebagai kawasan penyangga justru di eksploitasi dengan diberikannya izin pertambangan di kawasan hutan lindung, padahal hampir 50% hutan di Kalsel telah mengalami deforestasi. Kapasitas terpasang industri perkayuan di Kalsel yang besarnya melebihi 3 juta m3 pertahun jelas sangat jauh melebihi kemampuan daya pasok hutan alam yang ada secara lestari. Berdirinya industri kayu serpih (chip mill) di desa Ale-ale kecamatan Tanjung Seloka kabupaten Kotabaru dan rencana pembangunan industri bubur kertas (pulp) di desa Sungai Cuka kecamatan Satui kabupaten Tanah Bumbu dengan kapasitas industri sebesar 600 ribu sampai dengan 1 juta ton pertahun justru akan semakin menambah gap antara suply dan demand terhadap kayu sehingga pemenuhan kebutuhannya akan mengancam lingkungan dan hutan alam yang ada. Kawasan pegunungan Meratus sebagai bagian yang terpenting dalam menjaga kestabilan lingkungan hidup di Kalsel dan merupakan “benteng pertahanan terakhir” terus dibabat dan digusur keberadaannya baik oleh aktivitas pembalakan kayu maupun oleh aktivitas pertambangan legal dan illegal. Ditambah dengan terbitnya ratusan izin Kuasa Pertambangan Batubara (KP) dan puluhan izin PKP2B (terdapat lebih dari 300 izin pertambangan di Kalsel), 3 HPH aktif, 4 IPK aktif, 6 HTI aktif dan 46 izin perkebunan skala besar maka lengkaplah sudah potret pembangunan yang tidak berprespektif lingkungan.
Menuai Bencana
Bulan Juni 2006 lalu banjir telah menyapu empat kabupaten yaitu Kab. Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Dengan korban 12.2048 jiwa, 9 orang meninggal dunia, ribuan ha sawah terendam, ribuan rumah terendam, ratusan km jalan mengalami kerusakan dan kerugian total akibat bencana tersebut Rp. 146,457 milyar. (Sumber Presentasi Wagub Kalsel 2006). Ini baru yang terdata oleh pemerintah, bagaimana dengan yang tidak tercatat dan kerugian sosial lainnya, saya yakin realitasnya jauh lebih besar.
Kemudian tidak berselang lama, bulan Agustus terjadi kebakatan hutan dan lahan. Kabut asappun mulai menjadi masalah dan puncaknya pada bulan november 2006. Menurut kepada Dinkes Kalsel Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Oktober 2006 memperlihatkan kandungan partikulat (PM 10) sangat tinggi hingga mencapai 640 u/m3, padahal batas standar sehat hanya 150 u/m3 artinya kondisi udara sudah tidak sehat. Lebih lanjut menimbulkan beberapa penyakit seperti ISPA, Iritasi mata, Iritasi kulit, dan ganguan kejiwaan bagi masyarakat. Dan selain berdampak terhadap kesehatan manusia kabut asap juga berdampak terhadap berbagai aktivitas seperti memacetkan arus trasportasi (air, darat dan udara), sekolah yang mesti diliburkan, menghambat aktivitas diluar rumah/ ruangan dan jelas menggangu berbagai aktivitas perekonomian dan sosial masyarakat lainnya.
Dari fenomena bencana yang terjadi, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi, pola iklim dan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada musim kemarau kita selalu kekurangan air dan pada musim hujan kita kebanjiran, ini mengindikasikan bahwa semua infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.
Bencana banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan dan kabut asap tidak hanya dilihat dari proses alamiah dan dampaknya secara insedentil, tetapi juga dilihat dari faktor pendukung lainnya dan akar penyebabnya. Sebagai manusia yang di karunia akal dan pemikiran mestinya harus ada upaya-upaya preventif dan maksimal dalam menghadapi bencana tersebut. Namun hampir di setiap bencana respon dan penanganan bencana terasa lambat dan jalan ditempat. Pemerintah dalam hal ini tidak memaksimalkan lembaga-lembaga yang memiliki fungsi dan peranan dalam menghadapi bencana-bencana tersebut. Belum lagi kalau kita berbicara tentang pola penanggulangan bencana ataupun pengelolaan resiko bencana, hampir tidak ada upaya transformatif untuk menciptakan perubahan kondisi tersebut. Padahal kita memiliki orang-orang yang mumpuni dalam bidang tersebut.
Jika kita cermati penanganan bencana di Kalsel dilaksanakan dengan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan penanggulangan bencana (pada tahap-tahap prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, rekontruksi) yang tertuang pada keputusan Menko Kesra, terlihat memposisikan masyarakat sebagai obyek. Jika kita telusuri, ada pemahaman yang kurang tepat tentang bencana tersebut. Bencana selama ini umumnya oleh pemerintah dianggap sebagai gangguan terhadap proses pembangunan yang normal, kejadian yang berdiri sendiri, tidak serta merta (hubungan sebab akibat), sehingga penanganannya pun hanya bersifat darurat. Pemahaman yang kurang tepat ini tentunya berpengaruh pula terhadap pola penanganan bencana. Pola emergency action yang selama ini di pakai hanya bertujuan untuk memperbaiki situasi menjadi sebelum terjadi seperti bencana, sehingga dana yang dikeluarkan pun dari tahun ketahun cenderung meningkat. Sementara upaya penanganan jangka panjang dalam bentuk pengelolaan resiko bencana (Disaster Management Risk) sebagai upaya kesiapan dan minimalisir dampak akibat bencana kurang mendapat perhatian. Pemerintah belum mampu menjamin dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik, aman, nyaman dan sehat.
Sebenarnya bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas komponen ancaman (hazard) yang berupa potensi akan terjadinya kejadian (fenomena) alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman yang mungkin terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut.
Penutup
Dari berbagai kejadian bencana banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap yang terjadi pada tahun 2006 tersebut jelas sekali memperlihatkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bijaksana adalah penyebab utamanya. Disamping itu juga kegiatan dan perencanaan pembangunan yang dilakukan sama sekali tidak memperhitungkan dampak yang akan terjadi serta tidak mengakomodir resiko bencana yang mungkin terjadi (tanpa ada Managemen Risiko), dimana pencegahan bencana bukan menjadi bagian dari suatu proses pembangunan, sehingga yang dilakukan bukan pencegahan tetapi justru lebih pada penanganan bencana. Padahal apabila perencanaan suatu kegiatan pembangunan digabungkan dengan Risk Management maka dalam perencanaan pembangunan sudah diperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi apabila ada kegiatan pembangunan atau pemanfaatan SDA disuatu kawasan.
Juga terlihat jelas bahwa pengambilan manfaat dari sumberdaya alam tidak memperhitungkan dampak secara ekologi serta sosial. Pengambilan manfaat atas SDA yang dilakukan secara tidak bijak ini berdampak buruk terhadap semua aspek kehidupan. Pembangunan yang salah kaprah telah menyebabkan berbagai degradasi dan kerusakan lingkungan. Krisis ekologi terjadi dan berujung kepada terjadinya bencana dan akhirnya berlanjut kepada semakin terpuruknya tatanan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, kemiskinan, pengungsi, ketidakberdayaan, wabah penyakit, meningkatnya kejahatan dan konflik serta penyakit sosial lainnya.
Jika kita saat ini telah menuai bencana yang merupakan buah dari pembangunan selama ini, maka patut kita untuk bertanya kembali bahwa pembangunan itu sebenarnya untuk apa dan untuk kepentingan siapa?
Pengantar
Terjadinya banjir besar di empat kabupaten pada bulan Juni lalu kiranya cukup memberikan gambaran tentang bagaimana kondisi lingkungan hidup terutama kawasan hutan di Kalimantan Selatan yang mengalami degradasi cukup parah. Belum lagi selesai berbenah akibat dampak banjir tersebut, pada bulan Agustus sampai dengan bulan November masyarakat Kalsel dihadapkan lagi pada persoalan yang tidak kalah serius yaitu kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan terjadinya kabut asap dan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan terutama bagi kesehatan manusia. Pada musim hujan banua ini mengalami musibah kebanjiran dan musim kemarau kita mengalami kekeringan, kebakaran hutan dan lahan yang berujung kepada bencana asap yang cukup menderitakan sebagian besar masyarakat kita.
Bencana banjir, kekeringan dan kabut asap yang terjadi pada tahun 2006 di banua ini jelas bukanlah karena faktor alam semata namun lebih kepada disebabkan oleh kesalahan manusianya yang salah urus dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Sebagaimana disebutkan oleh Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), “Bencana pembangunan, terjadi sebagai gabungan faktor krisis lingkungan akibat pembangunan dan gejala alam itu sendiri, yang diperburuk dengan perusakan sumberdaya alam dan lingkungan serta ketidakadilan dalam kebijakan pembangunan sosial.” Pembangunan yang hanya menekankan kepada kepentingan ekonomi semata pada akhirnya telah mengamcam keselamatan keberlangsungan kehidupan rakyat. Dan ketika bencana telah datang, pertanyaan kita adalah siapa yang paling dirugikan akibat terjadinya bencana tersebut? Apakah para pejabat-penguasa, para pengusaha atau rakyat marginal kebanyakan?
Pembangunan Tak Berprespektif Lingkungan
Pembangunan ekonomi yang berlangsung selama ini telah menempatkan sumber daya alam hanyalah sebagai onggokan komoditi semata. Oleh karenanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam dilakukan secara massif dan berlebihan dengan mengabaikan aspek ekologi-lingkungan, sosial dan kemungkinaan dampak bencana yang ditimbulkannya. Jikapun ada beberapa kebijakan dan pembangunan yang pro lingkungan namun tetap saja tidak mampu membendung laju kerusakan lingkungan yang terus berlangsung karena posisinya yang memang hanya dijadikan sebagai “alat pelengkap” saja agar kelihatan akomodatif dan bervisi berkelanjutan. Dan “pembangunan berkelanjutan” yang selama ini digandang-gadang oleh pemerintah ternyata pada kenyataannya masih tetap mengedepankan kepentingan ekonomi (jangka pendek) ketimbang keberlanjutan kehidupan itu sendiri. Hanya “pembangunannya” yang terus berlanjut sedangkan keberlangsungan perikehidupannya terabaikan. Eksploitasi sumberdaya alam yang dilakukan sudah melebihi daya dukung lingkungan yang ada dan melampaui ambang batas.
Berbagai kebijakan pemerintah baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat cenderung mempermudah jalan bagi terlaksananya eksploitasi yang massif tanpa memperhitungkan keseimbangan lingkungan. Kawasan-kawasan hutan yang semestinya dilindungi dan berfungsi sebagai kawasan penyangga justru di eksploitasi dengan diberikannya izin pertambangan di kawasan hutan lindung, padahal hampir 50% hutan di Kalsel telah mengalami deforestasi. Kapasitas terpasang industri perkayuan di Kalsel yang besarnya melebihi 3 juta m3 pertahun jelas sangat jauh melebihi kemampuan daya pasok hutan alam yang ada secara lestari. Berdirinya industri kayu serpih (chip mill) di desa Ale-ale kecamatan Tanjung Seloka kabupaten Kotabaru dan rencana pembangunan industri bubur kertas (pulp) di desa Sungai Cuka kecamatan Satui kabupaten Tanah Bumbu dengan kapasitas industri sebesar 600 ribu sampai dengan 1 juta ton pertahun justru akan semakin menambah gap antara suply dan demand terhadap kayu sehingga pemenuhan kebutuhannya akan mengancam lingkungan dan hutan alam yang ada. Kawasan pegunungan Meratus sebagai bagian yang terpenting dalam menjaga kestabilan lingkungan hidup di Kalsel dan merupakan “benteng pertahanan terakhir” terus dibabat dan digusur keberadaannya baik oleh aktivitas pembalakan kayu maupun oleh aktivitas pertambangan legal dan illegal. Ditambah dengan terbitnya ratusan izin Kuasa Pertambangan Batubara (KP) dan puluhan izin PKP2B (terdapat lebih dari 300 izin pertambangan di Kalsel), 3 HPH aktif, 4 IPK aktif, 6 HTI aktif dan 46 izin perkebunan skala besar maka lengkaplah sudah potret pembangunan yang tidak berprespektif lingkungan.
Menuai Bencana
Bulan Juni 2006 lalu banjir telah menyapu empat kabupaten yaitu Kab. Banjar, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Dengan korban 12.2048 jiwa, 9 orang meninggal dunia, ribuan ha sawah terendam, ribuan rumah terendam, ratusan km jalan mengalami kerusakan dan kerugian total akibat bencana tersebut Rp. 146,457 milyar. (Sumber Presentasi Wagub Kalsel 2006). Ini baru yang terdata oleh pemerintah, bagaimana dengan yang tidak tercatat dan kerugian sosial lainnya, saya yakin realitasnya jauh lebih besar.
Kemudian tidak berselang lama, bulan Agustus terjadi kebakatan hutan dan lahan. Kabut asappun mulai menjadi masalah dan puncaknya pada bulan november 2006. Menurut kepada Dinkes Kalsel Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Oktober 2006 memperlihatkan kandungan partikulat (PM 10) sangat tinggi hingga mencapai 640 u/m3, padahal batas standar sehat hanya 150 u/m3 artinya kondisi udara sudah tidak sehat. Lebih lanjut menimbulkan beberapa penyakit seperti ISPA, Iritasi mata, Iritasi kulit, dan ganguan kejiwaan bagi masyarakat. Dan selain berdampak terhadap kesehatan manusia kabut asap juga berdampak terhadap berbagai aktivitas seperti memacetkan arus trasportasi (air, darat dan udara), sekolah yang mesti diliburkan, menghambat aktivitas diluar rumah/ ruangan dan jelas menggangu berbagai aktivitas perekonomian dan sosial masyarakat lainnya.
Dari fenomena bencana yang terjadi, aspek penting untuk diperhatikan adalah pola perusakan ekologi, pola iklim dan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah. Pada musim kemarau kita selalu kekurangan air dan pada musim hujan kita kebanjiran, ini mengindikasikan bahwa semua infrastruktur yang dibuat untuk merekayasa lingkungan telah gagal, karena sumber masalah tidak ditangani dengan sungguh-sungguh. Krisis demi krisis akibat salah urus ini kemudian berujung pada bencana ekologis yang kian nyata terlihat.
Bencana banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan dan kabut asap tidak hanya dilihat dari proses alamiah dan dampaknya secara insedentil, tetapi juga dilihat dari faktor pendukung lainnya dan akar penyebabnya. Sebagai manusia yang di karunia akal dan pemikiran mestinya harus ada upaya-upaya preventif dan maksimal dalam menghadapi bencana tersebut. Namun hampir di setiap bencana respon dan penanganan bencana terasa lambat dan jalan ditempat. Pemerintah dalam hal ini tidak memaksimalkan lembaga-lembaga yang memiliki fungsi dan peranan dalam menghadapi bencana-bencana tersebut. Belum lagi kalau kita berbicara tentang pola penanggulangan bencana ataupun pengelolaan resiko bencana, hampir tidak ada upaya transformatif untuk menciptakan perubahan kondisi tersebut. Padahal kita memiliki orang-orang yang mumpuni dalam bidang tersebut.
Jika kita cermati penanganan bencana di Kalsel dilaksanakan dengan pendekatan konvensional dan dilakukan dengan mekanisme eksternal. Rencana kegiatan penanggulangan bencana (pada tahap-tahap prevensi, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi, rekontruksi) yang tertuang pada keputusan Menko Kesra, terlihat memposisikan masyarakat sebagai obyek. Jika kita telusuri, ada pemahaman yang kurang tepat tentang bencana tersebut. Bencana selama ini umumnya oleh pemerintah dianggap sebagai gangguan terhadap proses pembangunan yang normal, kejadian yang berdiri sendiri, tidak serta merta (hubungan sebab akibat), sehingga penanganannya pun hanya bersifat darurat. Pemahaman yang kurang tepat ini tentunya berpengaruh pula terhadap pola penanganan bencana. Pola emergency action yang selama ini di pakai hanya bertujuan untuk memperbaiki situasi menjadi sebelum terjadi seperti bencana, sehingga dana yang dikeluarkan pun dari tahun ketahun cenderung meningkat. Sementara upaya penanganan jangka panjang dalam bentuk pengelolaan resiko bencana (Disaster Management Risk) sebagai upaya kesiapan dan minimalisir dampak akibat bencana kurang mendapat perhatian. Pemerintah belum mampu menjamin dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik, aman, nyaman dan sehat.
Sebenarnya bencana (disaster) merupakan fenomena sosial akibat kolektif atas komponen ancaman (hazard) yang berupa potensi akan terjadinya kejadian (fenomena) alam dan atau buatan di satu pihak, dengan kerentanan (vulnerability) komunitas di pihak lain. Bencana terjadi apabila komunitas mempunyai tingkat kemampuan yang lebih rendah dibanding dengan tingkat ancaman yang mungkin terjadi padanya. Ancaman menjadi bencana apabila komunitas rentan, atau memiliki kapasitas lebih rendah dari tingkat bahaya tersebut, atau bahkan menjadi salah satu sumber ancaman tersebut.
Penutup
Dari berbagai kejadian bencana banjir, kekeringan, kebakaran lahan dan hutan serta kabut asap yang terjadi pada tahun 2006 tersebut jelas sekali memperlihatkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang tidak bijaksana adalah penyebab utamanya. Disamping itu juga kegiatan dan perencanaan pembangunan yang dilakukan sama sekali tidak memperhitungkan dampak yang akan terjadi serta tidak mengakomodir resiko bencana yang mungkin terjadi (tanpa ada Managemen Risiko), dimana pencegahan bencana bukan menjadi bagian dari suatu proses pembangunan, sehingga yang dilakukan bukan pencegahan tetapi justru lebih pada penanganan bencana. Padahal apabila perencanaan suatu kegiatan pembangunan digabungkan dengan Risk Management maka dalam perencanaan pembangunan sudah diperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi apabila ada kegiatan pembangunan atau pemanfaatan SDA disuatu kawasan.
Juga terlihat jelas bahwa pengambilan manfaat dari sumberdaya alam tidak memperhitungkan dampak secara ekologi serta sosial. Pengambilan manfaat atas SDA yang dilakukan secara tidak bijak ini berdampak buruk terhadap semua aspek kehidupan. Pembangunan yang salah kaprah telah menyebabkan berbagai degradasi dan kerusakan lingkungan. Krisis ekologi terjadi dan berujung kepada terjadinya bencana dan akhirnya berlanjut kepada semakin terpuruknya tatanan kehidupan sosial ekonomi masyarakat, kemiskinan, pengungsi, ketidakberdayaan, wabah penyakit, meningkatnya kejahatan dan konflik serta penyakit sosial lainnya.
Jika kita saat ini telah menuai bencana yang merupakan buah dari pembangunan selama ini, maka patut kita untuk bertanya kembali bahwa pembangunan itu sebenarnya untuk apa dan untuk kepentingan siapa?