Sunday, June 26, 2011

Menyoal Krisis Listrik dan Solusi Semu


CSR dan Green Energy, “Benarkah Solusi bagi Krisis Listrik di Indonesia?”[1]
Oleh Berry Nahdian Forqan[2]

Pendahuluan
Sumberdaya energi merupakan kebutuhan pokok dan merupakan komponen mutlak ketika kita ingin membangun sebuah peradaban masyarakat suatu bangsa ataupun dunia saat ini.  Ketiadaan sumberdaya energi atau ketidakmampuan suatu masyarakat atau negara  dalam menyediakan sumberdaya energi mengakibatkan lemahnya kemampuan  suatu masyarakat atau negara tersebut dalam membangun peradabannya.  Bahkan bisa berujung kepada terjadinya krisis multidimensi.
Berbagai konflik dan peperangan di berbagai belahan dunia terjadi hanya karena memperebutkan suberdaya energi.   Pada periode 1990-an paling tidak 5 juta orang terbunuh, dan 17-21 juta orang tersingkirkan ke barak-barak pengungsian.  Rakyat di Negara-negara miskin yang paling menderita dimana peperangan tersebut berlangsung. Sementara para elit dan Negara kaya justru memperoleh untung setelah dapat menguasai sumber-sumber energi tersebut seperti minyak bumi.
Indonesia adalah negeri yang kaya raya akan sumberdaya alamnya termasuk potensi untuk pemenuhan energi bagi kebutuhan warga Negara.  Namun ironisnya sumberdaya alam tersebut tidak mampu dikelola dengan baik sebagai potensi sumber energi bagi pembangunan peradaban masyarakat dan bangsa negeri ini.  Faktanya sekarang ini negeri kita mengalami krisis energi baik untuk pemenuhan bahan bakar maupun energi untuk listrik. “Tikus mati di lumbung padi,” sebuah istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi pengelolaan sumberdaya alam bagi pemenuhan energi negeri ini.
Listrik bagian dari kebutuhan warga yang mesti dipenuhi oleh pemerintah tidak bisa diakses oleh seluruh penduduk dan parahnya lagi pemenuhan bagi kelompok warga yang sudah terjangkaupun mengalami defisit sehingga di banyak daerah selalu terjadi pemadaman bergiliran.  Bukan saja ini sangat berpengaruh pada penyediaan listrik bagi rumah tangga namun juga berpengaruh para kemampuan warga dan dunia usaha dalam berproduksi.  
Sementara itu berbagai solusi yang ditawarkan masih bersifat parsial dan jangka pendek.  Pemenuhan energi untuk listrik masih mengandalkan energi fosil yang bersifat terbatas dan tidak terbarukan.  Hal ini terlihat dari rencana pembangunan pembangkit listrik 10 Gwh dengan mengandalkan batubara sebagai pengganti bahan bakar minyak yang semakin menipis.  Padahal kita ketahui sumber energi fosil baik migas maupun batubara adalah bahan utama penyebab terjadinya pencemaran udara dan emisi gas rumah kaca.  Sedangkan potensi energi alternatif atau energi terbarukan yang cukup melimpah di negeri ini tidak benar-benar dimanfaatkan dengan baik dan tidak menjadi prioritas utama yang didahulukan dalam rangka mengatasi krisis listrik yang terjadi. 
Disisi lain, kegagalan pemerintah sebagai pemegang mandat tanggungjawab pengurus Negara dalam memenuhi kewajibannya untuk mensejahterakan rakyat dan dalam hal ini adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi warga Negara justru kemudian mengalihkannya kepada pihak swasta dengan mendorong program Corporate Social Responsibility atau biasa disingkat CSR.  Dan menjadi pertanyaan besar apakah CRS melalui “Green Energy” dapat menjawab persoalan fundamental krisis listrik di Indonesia saat ini.   Dimana persoalan utama krisis listrik tersebut adalah bukan pada ketidakberdayaan masyarakat dan ketiadaan energi terbarukan (ramah lingkungan) namun pada ketimpangan dan ketidakadilan akses dan kontrol dalam pengelolaan sumberdaya energi di negeri ini.

CSR dalam Pandangan WALHI
Pada tahun 2008 WALHI melakukan sebuah penelitian terkait dengan praktek CSR di empat perusahaan besar yang bergerak dibidang ekstraksi sumberdaya alam.  Pemilihan atas korporasi besar ini didasarkan atas dasar : 1) rentang perusahaan yang dipilih cukup luas dari perspektif pelaksanaan CSR, karena melibatkan perusahaan yang telah menerima CSR Award dan dikontraskan dengan perusahaan yang belum mendapatkan izin eksploitasi di kawasan konservasi namun sudah melakukan aktivitas CSR;  2) sebagian besar perusahaan tersebut mempunyai rekam jejak yang negatif terhadap persoalan social dan lingkungan;  3) perusahaan-perusahaan yang dipilih telah mewakili tipologi perusahaan ekstraktif yang berkaitan dengan sumberdaya alam yakni migas, mineral, batubara dan pulp dan paper;  4) perusahaan yang dipilih sudah termasuk perusahaan yang pemiliknya atau pemilik sebelumnya adalah perusahaan transnasional yang telah mempelopori konsep dan praktek CSR di Indonesia;  5) tiga dari perusahaan yang dipilih adalah milik pengusaha yang sangat kuat di Indonesia;  6) sirkulasi pengetahuan dan praktek CSR difasilitasi dengan memperkerjakan spesialis CSR yang berpindah-pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain (dianggap berpengalaman).
Berikut ini adalah temuan dari analisa data yang didapatkan berdasarkan temuan-temuan lapangan  dalam penelitian tersebut :
1.     Apa yang dirumuskan sebagai “CSR” pada umumnya adalah proyek-proyek pembangunan. Dapat juga disebut sebagai “community development”, atau “comdev”. Kendati tidak mesti berdasarkan inisiatif komunitas, namun proyek-proyek yang dijalankan oleh spesialis “comdev” korporasi,  diimplementasikan untuk komunitas.
2.     Disamping proyek-proyek yang dijalankan untuk komunitas, label CSR juga meliputi beberapa bentuk donasi. Seperti bantuan bahan material bangunan untuk sekolah, mesjid, dan gereja. Mensponsori kunjungan-kunjungan lapangan (studi banding) terhadap proyek-proyek serupa, dengan komponen entertainmen yang lebih besar.
3.     Kendati tidak secara resmi disebut sebagai CSR, dana dalam jumlah besar dari perusahaan dialokasikan untuk mendukung kelompok-kelompok lokal yang diorganisir berdasarkan etnisitas. Selain itu juga diberikan kepada kelompok-kelompok pemuda yang siap melindungi kepentingan perusahaan jika terdapat kritik dari organisasi lingkungan atau kelompok lainnya.
4.     Berbagai departemen atau divisi dalam perusahaan, memiliki berbagai nama sampai kepada sebuah konsep CSR yang komprehensif. Umumnya, departemen atau divisi yang mengurus CSR sebelumnya bertugas untuk hubungan masyarakat atau hubungan dengan pemerintah, kemudian dilakukan penambahan community development. Dapat juga orang perusahaan yang bertanggung-jawab untuk community development juga mengurus hubungan dengan pemerintah.
5.     Dengan menganalisa data secara keseluruhan, bisa disimpulkan bahwa tujuan ‘kosmetik’ CSR lebih besar dibanding dengan perhatian yang sebenarnya untuk mitigasi lingkungan maupun keadilan sosial. Kehancuran lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan pertambangan, demikian juga degradasi lingkungan yang diakibatkan oleh pengalihan tanaman hutan asli dengan eucalyptus untuk pasokan bahan mentah pulp and paper, telah menciptakan kesengsaraan bagi penduduk lokal. Kondisi semacam ini sering tidak dapat dimitigasi oleh proyek-proyek yang disebut sebagai community development projects. Di semua kasus, baik pertambangan juga aktivis penebangan kayu (longging) telah membuat sungai, danau kecil menjadi lebih dangkal dan lebih kotor tumpahan bahan bakar, minyak mental, dan pembuangan tailing ke badan air yang menjadi sumber utama bagi air minum, mandi bagi penduduk lokal. Disamping polusi air, kebisingan dari pengeboran dan pemboman bebatuan mengkibatkan jendela kaca pecah, membahayakan pendengaran penduduk dan mengganggu bayi. Tidak ada aktivitas CSR di tempat yang terdampak yang dapat mengatasi dampak kerusakan lingkungan.
6.     Sebagian besar aktivitas CSR yang diamati, dirancang dan diimplementasikan untuk mengurangi potensi dan konflik aktual antara korporasi dan komunitas lokal. Dalam beberapa kasus, penduduk lokal mengungkapkan kemarahan mereka karena tidak mendapatkan pekerjaan di korporasi, namun di desa lainnya mereka terang-terangan memblokade perusahaan tambang atau perusahaan kayu atau pulp dan paper untuk memasuki tanah adat mereka untuk menghancurkan hutan mereka atau membuat sungai mereka terpolusi.
7.     Sebagian besar aktivitas CSR yang diamati secara sengaja maupun tidak sengaja menciptakan perpecahan di komunitas lokal. Perpecahan ini awalnya diciptakan oleh korporasi dengan membuat zonasi yang mengkategorikan komunitas sekitar berdasarkan  jarak dari lokasi aktual operasi perusahaan. Keselamatan komunitas dari bahaya yang inheren dengan operasi perusahaan tambang tidak selalu menjadi perhatian utama untuk menentukan zona yang diterapkan terhadap penduduk lokal, namun lebih kepada keberadaan langsung mereka dalam menghadapi perusahaan tambang. Ketidakadilan yang melekat dalam kebijakan zonasi dapat terlihat dari kenyataan bahwa tailing  pertambangan dibuang jauh dari pertambangan.
8.     Jumlah dan tipe proyek CSR yang diimplementasikan dari sebagian besar kasus yang diamati tidak dirancang secara bersama-sama dengan komunitas terdampak. Namun kebanyakan dengan pemimpin mereka yang kepentingannya sejalan dengan kepentingan korporasi. Biasanya setelah diikutkan dalam kunjungan “studi banding”, atau perekrutan anak-anak mereka atau keluarga lainnya sebagai pekerja di perusahaan.
9.     Sebagian besar dari kasus yang dipelajari menunjukkan bahwa donasi dari perusahaan didistribusikan kepada individu-individu atau kelompok yang paling berbicara keras atau paling kritis terhadap perusahaan. Kebijakan diskriminatif ini menciptakan ketegangan yang keras antara komunitas lokal atau antar lapisan komunitas. Hal tersebut mendorong beberapa kelompok tertentu menjadi lebih dekat kepada manajer perusahaan, sementara yang lainnya menjadi lebih konfrontatif terhadap perusahaan.
10.   Jika diperlukan untuk melakukan manipulasi institusi adat mana kala berhadapan dengan keberadaan komunitas penduduk asli yang memiliki ikatan kuat terhadap tanah mereka, maka perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam akan melakukannya.  Manipulasi terhadap institusi adat lokal ini dapat menimbulkan efek yang merusak di masa yang akan datang, karena perusahaan akan dinilai lebih menguntungkan satu kelompok dibandingkan dengan kelompok lainnya.
11.   Makin lama perusahaan beroperasi di daerah propinsi atau kabupaten setempat, makin kuat kecenderungan perusahaan tersebut berlaku seperti negara dalam negara. Karena dana CSR menambah ketergantungan komunitas lokal, birokrat juga legislator terhadap perusahaan. Ketergantungan ini pada dasarnya bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab untuk mensejahterakan warga negara, bukan korporasi.
12.   Dengan makin bertambah populernya CSR maka terjadi pengkamuflasean terhadap pengabaian Peraturan Pemerintah N0.27 Tahun 1999 tentang AMDAL, yang dilakukan baik oleh negara juga korporasi. Keberadaan dua sistem perundang-undangan, salah satunya mengatur kewajiban-kewajiban perusahaan terhadap dampak lingkungan, dan yang lain tentang tanggung jawab sosial perusahaan, menciptakan daerah abu-abu atau tumpang tindih.
13.   Sementara aktivitas CSR yang diteliti dalam penelitian ini tidak sanggup menanggulangi efek penggusuran yang diciptakan oleh perusahaan-persahaan yang bergerak dalam sumber daya alam. Namun ironisnya hal ini telah menciptakan lapangan pekerjaan baru bagi banyak aktivis yang sebelumnya beraktivitas di organisasi non pemerintah ataupun jurnalis. Proses ini mengulangi proses serupa ketika banyak aktivis bergabung dengan perusahaan konsultan AMDAL atau peraturan yang terkait dengannya. Dengan perkataan lain, terdapat sebuah pergeseran dari konsultan AMDAL menjadi konsultan CSR.

Berdasarkan temuan diatas serta berpedoman kepada Konvensi Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya (EKOSOB), bisa disimpulkan bahwa konsep CSR dan prakteknya tidak memberikan kontribusi dan jaminan bagi penegakan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar perusahaan yang mengeksploitasi sumberdaya alam. Terdapat daerah abu-abu dengan populernya CSR bersamaan dengan terabaikannya undang-undang dan peraturan yang mengatur tentang lingkungan hidup, pemerintah mengambil tanggungjawab yang lebih sedikit untuk pemenuhan hak ekosob masyarakat, dan menyerahkannya kepada perusahaan.  Pengalihan tanggungjawab pemerintah ini menghapuskan kewajibannya terhadap konstitusi negara untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.  
Temuan diatas tentu tidak dapat diklaim sebagai representasi secara keseluruhan praktek CSR di Indonesia namun paling tidak dapat memberikan gambaran umum bagaimana praktek CSR tersebut dilaksanakan mengingat penelitian ini dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang memiliki tenaga pelaksana khusus dan dianggap berpengalaman.


Krisis Listrik BUAH DARI KETIMPANGAN AKSES
Di negeri ini, kita sebagai warga Negara, rakyat Indonesia tidak mempunyai banyak pilihan untuk mengakses dan menjangkau ketersediaan dan pelayanan kebutuhan energi yang memiliki kualitas yang baik, aman dan ramah lingkungan demi mendukung kehidupan social dan ekonomi yang lebih baik.  Berlimpahnya sumber energi baik yang berasal dari energi fosil maupun energi terbarukan yang ramah lingkungan seperti energi angin, air, surya, gelombang laut, biofuel, panas bumi dan lainnya tidak dimanfaatkan secara baik, benar dan optimal berdasarkan konsep pengelolaan yang mempertimbangkan potensi, kebutuhan, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.  Energi ditempatkan sebagai barang komoditi semata, dan sebagai barang komoditi maka kebijakan energi diarahkan lebih besar untuk memenuhi kebutuhan pasar ketimbang untuk memenuhi kebutuhan warga. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya ekspoitasi energi fosil secara besar-besaran tanpa memperhitungkan dampak lingkungan, kebutuhan warga dan pencadangan masa depan bahkan aspek keadilan.  Sementara sumber energi alternatif, energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan belum menjadi pilihan dan arus utama kebijakan pemerintah.  Sebagian kelompok kecil warga memiliki akses yang besar dan menggunakan energi secara berlimpah namun sebagian besar warga lainnya punya akses terbatas dan kekurangan energi.
Salah urus sumberdaya energi di negeri ini berakibat pada terjadinya kerusakan lingkungan yang menjadi penyebab terjadinya berbagai bencana ekologis dan berujung pada kemiskinan karena berkurangnya kemampuan produktivitas warga. Data dari BNPB tahun 2010 menunjukan dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana, dimana berdasarkan catatan WALHI bencana tersebut lebih besar karena dampak kerusakan lingkungan atau disebut bencana ekologis. Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul lebih dari satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana yang terdiri dari Banjir, kekeringan, longsor, badai dan kebakaran[3]. Kondisi ini di sebut WALHI sebagai “Darurat Ekologis Indonesia”[4].
Krisis listrik hanyalah merupakan salah satu bagian dari salah urus sumberdaya energi di negeri ini.   Krisis listrik terjadi ditengah kita punya potensi sumber energi yang cukup besar untuk menghasilkan listrik.  Artinya krisis listrik terjadi bukan masalah ketiadaan sumber energi untuk pembangkit listrik namun lebih kepada tata kuasa, tata produksi dan tata konsumsi yang tidak menempatkan warga sebagai aktor dan penerima manfaat utama energi bagi pemenuhan listrik dan mengabaikan kepentingan lingkungan.

Situasi Kekinian Pasokan Listrik
Daerah
Daya Maksimal (MW)
Beban Puncak (MW)
Kekurangan
(MW)
Sumatera
2.792,70
3.012,20
219,50
Kalimantan
306,14
372,73
66,59
Sulawesi
511,18
611,44
100,26
Kepulauan Maluku
42,80
46,10
3,30
Jawa-Madura-Bali-Lombok
17.035,81
17.370,66
334,85
Sumber : ESDM, Oktober 2009

Sebagai contoh di Kalimantan Selatan, sebuah provinsi yang kaya akan sumber energi berupa batubara dan potensi alam lainnya namun pemenuhan listrik bagi penduduk disana masih belum mampu menjangkau sampai ke pelosok-pelosok daerah.  Bahkan penduduk yang sudah mendapatkan pelayanan listrik dari PLN mesti sabar mengurut dada karena seringnya pemadaman bergiliran.  Berdasarkan hasil penelitian WALHI Kalsel total produksi batubara di Kalsel 78,5 juta ton pada tahun 2008 dan hanya 1,69% yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi di Kalsel selebihnya 70% di ekspor dan kurang lebih 28% untuk kebutuhan Jawa- Bali. PLTA Riam Kanan yang listriknya digunakan untuk menerangi wilayah Kalsel dan Kalteng namun tidak mampu (baca: tidak mau) memberikan layanan jangkauan listrik kepada masyarakat yang berada di wilayah hulu bendungan yang notabene adalah warga yang dikorbankan untuk pembangunan PLTA tersebut.
Dari gambaran diatas menggambarkan bahwa persoalan krisis listrik bukan karena ketiadaan sumberdaya energinya dan listrik yang dihasilkan namun lebih jauh karena ketimpangan tata kuasa, tata produksi dan tata konsumsinya.  Sehingga dorongan penggunaan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan haruslah dibarengi dengan perubahan pola struktur tata kelola yang lebih adil dan seimbang.  Artinya pemassifan penggunaan energi terbarukan mesti dibarengi dengan penataan kembali struktur pengelolaannya yang lebih berkeadilan sehingga dapat menjangkau seluruh warga Negara tanpa kecuali.   

Politik Energi Terbarukan Indonesia
Isu pemanasan global telah menyadarkan banyak pihak akan bahayanya penggunaan energi fosil yang telah mencemari udara dan penyebab terjadinya efek rumah kaca.  Hal ini mendorong para pihak terutama para pecinta lingkungan lebih jauh mendesakkan adanya peralihan penggunaan energi fosil kepada energi alternatif terbarukan yang lebih ramah lingkungan.
Sejak tahun 1970an para ilmuan dunia mulai massif melakukan riset terkait dengan energi terbarukan terutama menyangkut energi surya, energi angin, energi pasang surut dan gelombang air laut, serta biogas.  Bahkan melebar sampai pada energi non-konvensional seperti memecah hydrogen dari air, energi berbasis bioteknologi, eksplorasi energi kinetik, dan peningkatan efisiensi energi listrik.
Namun disayangkan sampai dekade ini penggunaan energi fosil masih mendominasi penggunaan energi dunia dimana pada tahun 2004, Yuliarto dalam makalah yang berjudul meneropong konsumsi energi dunia (2005) menyebutkan bahwa sebesar 87,7% konsumsi energi dunia menggunakan energi fosil sisanya 6,1% nuklir dan 6,2% bersumber dari energi hydro.
Indonesia sendiri masih menggunakan energi fosil sebagai sumber pasokan energi disamping juga sebagai penyedia bahan baku sumber energi bagi Negara-negara tujuan ekspor migas dan batubara.  Dalam periode 2003 -2009 berdasarkan data dari ESDM setiap tahunnya lebih 70% batubara Indonesia di ekspor sementara PLN kesulitan pasokan bahan baku.  Pada tahun 2008 porsi penggunaan energi di Indonesia 48,4% minyak, 28,6% gas, 18,8% batubara dan 4,2% energi terbarukan.  Artinya 95,8% Indonesia masih menggunakan energi fosil yang tidak ramah lingkungan.  Sementara berdasarkan data dari statistik PLN 2008, persentase berdasarkan sumber tenaga adalah: 9,1% tenaga air, 2,87% tenaga panas bumi, 35% tenaga uap dari batubara, 0,73% tenaga uap dari gas, 8,63% tenaga uap dari minyak, 4,7% tenaga gas, 30,27% tenaga diesel, 8,65% kombinasi gas dan uap dan hanya 0,0000847% tenaga matahari.    
Sementara kebijakan arah pengembangan energi masa depan Indonesia berdasarkan Blueprint Pengembangan Energi Nasional 2005-2025 yang dikeluarkan pemerintah tidak ada perubahan secara substansial.  Indonesia masih mengandalkan pada energi fosil dengan sedikit penurunan dari 94% pada tahun 2005 menjadi 89,5% pada tahun 2025.  Artinya dalam rentang waktu 20 tahun Indonesia hanya menurunkan komposisi energi fosil sebesar 4,5%.  Padahal cadangan energi fosil kita terus semakin menyusut dan tidak akan mampu bertahan lama, bahkan cadangan minyak kita diperkirakan akan habis di tahun 2023 kemudian menyusul batubara.

CSR, Green Energy dan Jawaban atas Krisis Listrik
Pertanyaanya adalah bagaimana kita menyelesaikan krisis listrik dengan mendorong energi terbarukan (green energy) melalui kegiatan CSR jika kita runut bahwa akar masalah dari krisis energi di Indonesia bukan terletak pada ada tidaknya ketersediaan sumber energi kita dan apakah kita menggunakan energi fosil yang tidak ramah lingkungan atau energi terbarukan yang lebih berkelanjutan namun ada soal ketimpangan dan ketidakadilan dalam tata kelolanya.  Sementara CSR tidak akan mampu menjawab ketimpangan itu sendiri karena daya jangkau dan kapasitasnya yang terbatas disamping dalam prakteknya berdasarkan temuan WALHI sebelumnya, program CSR tidak memberikan kontribusi dan jaminan bagi penegakan hak-hak ekonomi, social dan budaya bagi masyarakat yang hidup dan tinggal di sekitar perusahaan.
Bahwasanya memang menjadi penting dan mendesak bagi kita untuk mendorong adanya peralihan penggunaan energi fosil kepada energi terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi masa depan bangsa kita karena persoalan lingkungan dan pemanasan global yang sudah jelas terpampang di depan mata kita.  Namun ini tidak akan bisa diselesaikan dengan program CSR karena ini adalah urusan besar terkait dengan kebijakan ekonomi politik pengurusan negeri ini.  Ketika tidak ada kebijakan yang kuat dan serius dari pemerintah untuk menata kembali ketimpangan akses dan kontrol terhadap sumberdaya energi dengan memberikan ruang yang lebih besar kepada rakyat untuk mampu mengelolanya secara mandiri maka krisis listrik akan terus terjadi.  Sementara salah satu penyebab ketimpangan itu terjadi adalah karena diberikannya konsesi-konsesi pengelolaan sumber-sumber energi kepada perusahaan-perusahaan besar swasta yang mendominasi dan mempunyai kontrol yang kuat terhadap sumber-sumber energi tersebut sehingga hak-hak warga terabaikan.
Pekerjaan rumah yang harus diselesaikan kedepan adalah bagaimana pemerintah membuat sebuah kebijakan yang kuat melepas ketergantungan terhadap energi fosil dan mengubah haluan penggunaannya kepada penggunaan energi terbarukan dengan merevisi berbagai regulasi yang ada yang masih mengarus-utamakan energi fosil dan menyusun tahapan-tahapan yang mesti dilakukan dimana pengelolaanya diarahkan untuk memenuhi pemenuhan kebutuhan domestik berbasis bioregion dan menempatkan rakyat sebagai aktor dan penerima manfaat utamanya.  Tanggung jawab mengatasi krisis listrik tidak bisa diserahkan kepada perusahaan melalui program CSRnya walau dengan program energi terbarukan sekalipun karena kewajiban untuk mensejahterakan rakyat termasuk untuk pemenuhan kebutuhan listrik adalah tanggungjawab Negara dan dalam hal ini pemerintah sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945 sementara perusahaan sudah pasti tujuan pendiriannya adalah untuk mencari keuntungan bagi pemiliknya dimana program CSR hanyalah alat untuk terus dapat memastikan adanya keuntungan tersebut.
Namun paling tidak untuk memajukan pemenuhan energi terbarukan yang lebih berkeadilan dan mampu menjangkau pemenuhan kebutuhan warga maka beberapa langkah yang bisa dilakukan diantaranya adalah : mengembangkan riset dan teknologi penyediaan energi terbarukan yang murah untuk rakyat; melakukan desentralisasi, lokalisasi dan downsizing penyediaan energi; membangun mekanisme insentif dan disinsentif; meningkatkan keamanan pasokan energi dengan memperhatikan aspek dan biaya lingkungan; prioritas alokasi energi untuk kebutuhan warga; menerapkan prinsip-prinsip partisipasi, konservasi, adil, transparan dan non komoditi.
Kedepan kebijakan pengelolaan energi termasuk listrik mesti mampu menjamin keselamatan hidup warga, keberlanjutan produktivitas warga dan keberlanjutan fungsi-fungsi faal alam. 

PENUTUP
Peran negara dalam menyejahterakan rakyat tentunya tidak bisa digantikan dan pastinya tidak akan pernah bisa tergantikan oleh korporasi. Dalam prinsip korporasi, pemegang saham terbanyaklah yang paling menentukan kebijakan perusahaan (tentang apa yang diproduksi dan bagaimana memproduksinya), atau dikenal dengan istilah, “one dollar one vote”. Sehingga makin kecil kepemilikan sahamnya semakin lemah kontrolnya terhadap korporasi. Terlebih lagi masyarakat sekitar lokasi korporasi bukanlah pemilik saham, sehingga secara formal [saat ini] tidak memiliki kontrol apapun terhadap korporasi. Setidaknya posisi rakyat terhadap pemerintahan yang demokratis masih berlaku prinsip “one man/woman one vote”, sehingga suara mayoritas rakyat harus  diperhatikan (paling tidak secara teori dan memiliki legitimasi). Dengan demikian kontrak rakyat dengan pemerintah/negara dimana salah satu tujuannya adalah untuk mensejahterakan rakyat paling tidak diakui secara formal (terpenting diantaranya adalah Pasal 33 Konstitusi Indonesia).
Begitu pula dengan pengelolaan energi dalam hal ini listrik maka pemenuhannya bagi kebutuhan warga tidak bisa diserahkan kepada korporasi apalagi hanya melalui program CSR mereka.  Tanggung jawab pemenuhan energi mesti dilakukan oleh negara yang diwakili oleh pemerintah.


[1] Disampaikan pada Seminar Optimalisasi Program CSR Menuju Masyarakat Mandiri Energi, Hotel Aston Primera-Pasteur Bandung, 22-23 Juli 2010
[2] Direktur Eksekutif Nasional WALHI
[3] Press Statement: Pulihkan Indonesia, WALHI, 5 April 2010
[4] lebih lanjut lihat “DARURAT EKOLOGIS INDONESIA” Kertas Konsep: Restorasi Ekologis Indonesia Menuju Pengurusan Sumber daya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, WALHI, 2009

Friday, June 24, 2011

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENGURANGAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PELESTARIAN LINGKUNGAN DAN PENGURANGAN DAMPAK PEMANASAN GLOBAL[1]

Oleh :

Berry Nahdian Forqan[2]

Pendahuluan

Dalam paradigma konstitusi, pengelolaan ekonomi akan memanfaatkan segala sumber daya nasional yang dimiliki. Baik sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya, dan lain-lain yang dimiliki untuk diprioritaskan bagi kepentingan nasional untuk mewujudkan negara yang maju, mandiri dan berdaya saing tinggi. Sekarang, tatanan global-lah yang menjadi referensi dalam pengelolaan ekonomi agar kita mendapatkan manfaatnya. Padahal semua negara tetap berpegang pada kepentingan nasional dalam jagat raya kompetisi global. Berbagai perjanjian perdagangan dan investasi di tingkat internasional maupun regional, justeru merugikan rakyat dan kepentingan nasional. Kesepakatan liberalisasi perdagangan dan investasi dalam pertemuan G-20, perjanjian perdagangan bebas dalam kerangka ASEAN Free Trade Area, telah melicinkan jalan ekspansi modal dalam menguasai alat-alat produksi nasional.

Dalam perspektif negara yang telah menyatakan merdeka seperti Indonesia. Sepertinya semua keputusannya adalah berangkat dari kebutuhan kemandirian sebuah bangsa dan kemajuan negerinya. Tetapi sayangnya untuk bidang perdagangan, pertanian, putaran uang di pasar modal dan aneka pendekatan skema investasi melalui industrialisasi sektor pengelolaan air, pangan, energi, mineral, hutan, adalah tidak murni dilakukan yang makin membuat indikator negeri yang merdeka. Justru malah sebaliknya!

Siklus kehidupan manusia Indonesia saat ini tak bisa dilepaskan dari hantaman bencana ekologis yang bermunculan setiap harinya. Dalam kurun waktu 13 tahun terakhir telah terjadi 6.632 bencana[3]. Sehingga dapat diartikan setiap harinya muncul satu bencana dan setiap satu minggu terjadi 10 kali bencana dengan berbagai jenis. Fakta krisis dan bencana diatas menunjukan bahwa Indonesia dalam situasi Darurat Ekologis[4].

Namun, karena sumber daya alam tidak dimaknai sebagai kekayaan atau modal bangsa, maka telah terjadi pergeseran paradigma yang menempatkan batu bara, minyak mentah, gas dan tambang lainnya hanya sekadar komoditas yang dapat dikuasai dan diperdagangkan secara bebas oleh swasta dan asing. Sebagai komoditas non strategis (sebagaimana baju, sepatu dll), barang-barang tambang akan dengan mudah dieksploitasi dan diekspor bila penjualan ke luar negeri dinilai memberi keuntungan. Seolah manfaat bagi rakyat cukup lewat peningkatan cadangan devisa, penciptaan lapangan kerja meskipun bukan pekerja ahli atau dari pembayaran pajak dan royalti. Padahal faktanya, dengan pengelolaan yang terjadi saat ini, bagian pemerintah jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh pihak swasta.

Tingginya laju eksploitasi sumber daya alam, yang disertai dengan tingkat kerusakan lingkungan dan konflik sosial tidak sebanding dengan keuntungan finansial yang diterima oleh negara. Penerimaan Sumber Daya Alam (SDA) yang terdiri dari penerimaan Minyak bumi dan gas bumi (migas) dan Non Migas seperti pertambangan umum, kehutanan, perikanan, dan pertambangan panas bumi. Penerimaan SDA pada tahun 2009 sebesar Rp139,0 triliun misalnya, hanya memberikan kontribusi sekitar 16% dari total penerimaan negara sebesar Rp871 triliun.

Isu lingkungan sesungguhnya masih ditempatkan sebagai “pemadam kebakaran” di dalam lima agenda prioritas pemerintah tahun 2010[5]. Pemerintah gagal menjangkau akar masalah atau penyebab dari kerusakan lingkungan seperti bencana banjir, kebakaran hutan, pencemaran, dan dampak perubahan iklim. Padahal, semua hal yang disebut di atas merupakan akibat dari kesalahan sistem kapitalisme dalam tata kelola kekayaan alam yang berlangsung dalam model yang primitif, menjual dengan cepat dan murah kekayaan alam untuk kebutuhan pasar global. Laju penggundulan hutan alam, jutaan ton limbah tailing yang dibuang ke laut oleh perusahaan pertambangan, illegal fishing, ekspansi perkebunan besar, serta konversi lahan pertanian dan ruang terbuka hijau di perkotaan, telah menjadi sumber bencana yang tertanam dalam sistem kapitalisme yang gagal dituntaskan.

Misalnya isu deforestasi yang dianggap sebagai penyumbang emisi karbon global, dimana Indonesia mengakui telah kehilangan 1,17 juta hektar setiap tahun, gagal menemukan jalan keluar yang nyata. Upaya pengkambinghitaman terhadap petani-petani subsisten sebagai perusak hutan tidak bisa dihindarkan. Sementara, program anti deforestasi tidak pernah diarahkan kepada konversi hutan dalam industrialisasi di sektor perkebunan (terutama kelapa sawit). Di lingkup global, Indonesia bahkan memilih tergabung dalam skema jalan keluar yang terintegrasi dalam logika pasar, yaitu dengan menerapkan ide carbon trade, carbon offsets, dan carbon tax.


Pembangunan yang berwawasan lingkungan

Pemerintah Daerah dalam kapasitasnya sebagai pemangku kepentingan dan pengambil keputusan di tingkat lokal, berperan dalam menentukan kondisi lingkungan di daerah. Dimana sampai saat ini laju deforestasi banyak disebabkan oleh kebijakan pemberian ijin investasi disektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit serta hutan tanaman industri.

Dalam memperlihatkan kepedulian terhadap kelestarian lingkungan, tidak jarang yang dimunculkan hanya pada kegiatan-kegiatan non perlindungan kawasan dan non pelestarian lingkungan seperti program-program menjelang penilaian Adipura. Kegiatan ini sama sekali jauh dari problem pokok kerusakan lingkungan, pembangunan yang dilakukan tidak memperhatikan keberlanjutan ekologis dan pembangunan yang berkeadilan antar generasi.

Pembangunan yang berwawasan lingkungan, hendaknya memperhatikan pentingnya mempertahankan kawasan ekologi genting yang menjadi penyangga bagi sumber-sumber kehidupan.

Lingkungan Hidup Indonesia terancam collapse![6]. Alam tidak lagi bisa berfungsi menyediakan jasa pelayanannya, krisis menjadi makanan sehari-hari yang harus ditanggung oleh rakyat kebanyakan, bencana terjadi dimana-mana. Pada tahun 2009, sebanyak 1.713 total bencana telah terjadi di Indonesia. Diantara aset yang hilang yakni korban meninggal kurang lebih 1.940 orang, kerusakan rumah sekitar 10.576 (WALHI, diolah dari berbagai sumber). Situasi di tahun 2010 tidak bertambah baik, menjelang satu tahun pemerintahan SBY-Boediono, bangsa ini kembali diwarnai oleh berbagai peristiwa bencana secara berturut-turut. Sedikitnya 71 Kabupaten/Kota di Indonesia dilanda banjir dengan intensitas yang terus berulang. Bahkan di Ibukota negara, dari Januari-September 2010, telah terjadi 23 kali peristiwa banjir.

Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup di Indonesia yang terjadi hingga hari ini semestinya dibaca dalam logika kompleks antara pertumbuhan yang diagung-agungkan, ketidakpahaman atas perubahan lingkungan yang terjadi, dan pengabaian atas biaya yang ditanggung warga dalam sejarah pembangunan. Keselamatan rakyat saja tidak pernah dihitung dalam kalkulasi nilai pembangunan, apalagi kesejahteraan yang selama ini menjadi jualan pengurus negara. Padahal justru sebaliknya, kemiskinan muncul akibat lingkungan hidup rusak, dan alam tidak bisa lagi menyediakan jasa layanannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Rakyat juga dibiarkan untuk mengalami kemiskinan secara berkelanjutan.


Pembangunan dan Dampaknya Bagi Pemanasan Global

Selain terikat sebagai negara pihak dalam UNFCCC, Indonesia merupakan negara pihak terhadap konvensi internasional hak asasi manusia terutama konvensi hak sipil dan politik (Sipol)[7], hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), penghapusan diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW)[8], penghapusan diskriminasi rasial (ICERD)[9], konvensi keanekaragaman hayati. Dalam Sidang Mejelis Umum PBB 13 September 2007, delegasi pemerintah Indonesia juga voting mendukung pengesahaan United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP). Keterikatan Indonesia dengan berbagai konvenan yang ada, seyogyanya dalam penerapan model pembangunannya Indonesia menjadikan konvensi-konvensi dan perjanjian International tersebut sebagai salah satu landasan tindak dalam pengambilan keputusan. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan hal terpenting dalam menentukan sebuah kebijakan, HAM tidak semata-mata dinilai pada tindakan kekerasan fisik saja, melainkan juga pada pengabaian, pengingkaran dan penistaan atas hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat.

Di Indonesia, berdasarkan pengalaman di sektor sawit sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa perusahaan yang beroperasi di Indonesia telah gagal untuk mengamankan daerah dengan nilai konservasi tinggi (NKT) yang terletak dalam konsesi mereka karena daerah dengan NKT yang belum dibuka dan ditanami yang terletak dalam konsesi mereka telah dialokasikan oleh pejabat setempat kepada perusahaan lain untuk dibuka. Indonesia belum memiliki kerangka kerja hukum dan prosedur yang memadai untuk melindungi daerah-daerah dengan nilai konservasi tinggi khususnya bagi sosial dan budaya masyarakat setempat.[10] Studi tersebut menunjukkan bahwa tanpa adanya reformasi hukum dan prosedural agar terjadi perlindungan efektif terhadap daerah dengan NKT di Indonesia. Untuk itu perlu menjajaki kendala dan peluang reformasi hukum yang dapat dilakukan untuk mengamankan daerah dengan nilai konservasi tinggi lewat pelibatan multi stakeholder.

Akibat pola dan model pembangunan yang tidak mengindahkan hak ecosoc, dan keberlanjutan ekologislah yang melahirkan kondisi perubahan iklim global yang terjadi saat ini. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat 26.7 juta hektar lahan telah dialokasikan dalam rencana tata ruang kabupaten dan propinsi untuk perluasan dan pembangunan kelapa sawit. Prosedur rencana tata ruang tidak berupaya untuk mengidentifikasi dan melindungi daerah dengan nilai konservasi tinggi, tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah yang menjadi wilayah adat masyarakat adat atau wilayah kelola adat dan tidak mengidentifikasi atau melindungi daerah dengan “nilai karbon tinggi”. Selain itu, proses perencanaan tata ruang di Indonesia menggunakan definisi lahan “terdegradasi” dan “hutan konversi” yang tidak jelas dalam pembukaan hutan dan lahan sehingga sering kali membuka hutan atau lahan yang dikelola atau dimiliki masyarakat hukum adat. Lebih jauh lagi, pemerintah mengizinkan pemanfaatan gambut dalam rencana tata ruang Indonesia saat ini dalam kenyataannya mendorong penanaman kelapa sawit di lahan gambut, dan menimbulkan emisi CO2 yang besar (Permentan No.14/2009).

Pembukaan hutan yang meluas, pembakaran hutan dan pembukaan dan pengeringan drainase lahan gambut merupakan kontributor utama perubahan iklim global di Indonesia (terdapat perkiraan yang berbeda-beda namun umumnya menunjukkan angka 16% sampai 30% emisi gas rumah kaca berasal dari perubahan tata guna lahan). Ekspansi sektor perkebunan sawit besar-besaran beberapa tahun belakangan ini telah menjadi salah satu penyebab utama emisi ini.

Di Indonesia, perluasan perkebunan kelapa sawit umumnya terjadi di daerah yang digolongkan sebagai hutan dan antara 1/3 dan setengah dari rencana perluasan kelapa sawit akan dilakukan di lahan gambut dalam. Sampai 80% emisi CO2 Indonesia berasal dari perubahan peruntukan lahan, dan konversi hutan dan drainase lahan gambut merupakan penyebab utamanya. Tidak ada kontrol prosedural dan hukum yang memadai untuk mengendalikan perluasan ini dan kebijakan nasional sendiri pada hakikatnya bertentangan, di satu sisi berpihak pada perluasan industri kehutanan, industri ekstraktif dan perkebunan kelapa sawit secara cepat untuk keperluan bahan bakar nabati dan minyak goreng, di sisi lain terikat pada komitmen untuk mengurangi emisi CO2e secara signifikan.

Pemberian ijin berlebih dengan mengatasnamakan pendapatan asli daerah (PAD) juga terjadi di sektor pertambangan, dimana banyak sekali kawasan perijinan pertambangan yang mengorbankan kawasan hutan serta tidak mengindahkan keadilan antar generasi. Sementara itu, sebagai dampak dari hilangnya fungsi ekologi suatu kawasan, maka pelepasan emisi karbon tidak dapat dihindari lagi. Model pembangunan yang sangat tergantung pada ekstraksi sumberdaya alam saat ini, sudah saatnya digantikan dengan model pembangunan baru yang jauh lebih ramah lingkungan dan berkesinambungan misal mendorong produktivitas rakyat pada sektor-sektor pertanian rakyat.

Peran Kepala Daerah dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup

Undang-Undang 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam pertimbangannya menyatakan pada huruf (a) bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintahan daerah, tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan selanjutnya pada huruf (b) menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dua poin pertimbangan diatas sangat jelas sekali mendudukkan bahwa kewenangan yang luas dari pemerintah daerah disertai dengan pemberian hak dan kewajiban yang mesti dijalankan yang dalam penyelenggaraannya diarahkan untuk mempercepat terwujudkan kesejahteraan masyarakat malalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dengan memperhatikan prinsip demokrasi dan pemerataan. Artinya otonomi daerah mesti diartikan sebagai suatu mekanisme demokrasi yang memberikan ruang terhadap akses dan kontrol rakyat terhadap semua kebijakan pemerintah termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dan menempatkan rakyat sebagai satu-satunya pemilik kedaulatan atas negara ini dimana pemerintah daerah hanyalah penyelenggara pemerintahan di daerah yang menjalankan mandat dari rakyatnya.

Sementara itu lebih jauh diatur dalam konstitusi UUD 1945 dalam Pasal 28H ayat (1) menyebutkan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, pasal 33 ayat 2 : “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” serta ayat (4) berbunyi “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional'. Artinya bahwa pemerintah dalam hal ini juga pemerintah daerah sebagai pelaksana negara bertanggungjawab untuk memastikan hak warga negaranya untuk mendapatkan pelayanan dan kondisi lingkungan hidup yang baik. Dan penguasaan oleh negara mesti didudukkan sebagai suatu mekanisme untuk menjamin bahwa pemanfaatan aset-aset negara digunakan dengan prinsip kebersamaan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan berkeadilan.

Ketentuan-ketentuan di atas merupakan jaminan konstitusional bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam. Karena itu sudah selayaknya hal ini menjadi landasan dalam setiap perencanaan kebijakan di bidang lingkungan dan sumber daya alam di daerah. Yaitu memastikan peran konstitusional negara dalam menguasai kekayaan alam dengan tujuan menjamin agar kemakmuran rakyat senantiasa lebih diutamakan daripada kemakmuran orang perorang. Selain tentu mesti dapat menjamin kelestarian lingkungan agar alam dapat terus-menerus mendukung keberlangsungan tatanan kehidupan yang ada.

Dengan demikian, tugas dan wewenang kepala dearah sebagaimana tertuang dalam pasal 25 UU nomor 32 tahun 2004 yang meliputi a. memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD; b. mengajukan rancangan Perda; c. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD; d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama; e. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah; f. mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundangundangan; dan g. melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan, mesti diarahkan untuk memenuhi mandat konstitusi untuk menjamin hak-hak dasar warga negara demi terwujudnya kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Lebih spesifik lagi UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada pasal 63 ayat 3 menyebutkan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupaten/ kota bertugas dan berwenang untuk :

a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;

b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota;

c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota;

d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;

e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;

f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;

g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;

h. memfasilitasi penyelesaian sengketa; melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundangundangan;

i. melaksanakan standar pelayanan minimal;

j. melaksanakan kebijakan mengenai cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hokum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;

k. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

l. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;

m. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;

n. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan

o. melakukan penegakan hokum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.

Pemerintah daerah juga berkewajiban untuk melakukan pengendalian pencemaran dan atau kerusakan lingkundan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan pemulihan (pasal 13), memperhatikan perlindungan fungsi lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam setiap penyusunan peraturan daerah dan ketentuan kebijakan lainnya (pasal 44), mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiaya kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan program pembangunan yang berwawasan lingkungan (pasal 45), dan alokasi untuk pemulihan lingkungan hidup yang telah tercemar dan atau rusak.


Penutup

Peran kepala daerah di era otonomi daerah yang memberikan wewenang yang cukup besar kepada pemerintah daerah kabupaten/ kota saat ini menjadi sangat signifikan pengaruhnya terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berpengaruh kepada kondisi lingkungan hidup di suatu daerah/ wilayah. Tentu kewenangan ini mesti dibarengi dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban sesuai dengan amanat konstitusi yang menempatkan kepala daerah sebagai perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat untuk memastikan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup diarahkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam dan perlindungan lingkungan hidup maka kewenangan kepala daerah yang tertuang dalam UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mesti dibarengi pelaksanaannya dengan penerapan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sehingga keinginan untuk mewujudkan pembangunan yang bewawasan lingkungan, berkeadilan dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.



[1] Disampaikan pada kegiatan “Orientasi Kepemimpinan dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah bagi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota”, Selasa, 29-03-2011, Kalibata, Jakarta Selatan

[2] Direktur Eksekutif Nasional WALHI

[3] Padang, matanews.com Jumat, 26 Februari 2010 at 10:56. BNPB: 151.277 Korban Bencana Selama 1997-2009. http://matanews.com/2010/02/26/bnpb-151-277-korban-bencana-selama-1997-2009/

[4] Darurat ekologis adalah kondisi yang menuntut penanganan segera atas adanya ancaman dari kerusakan ekologi yang terjadi.

[5] Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2010 yaitu “Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat,” pemerintah mengusung lima program prioritas pembangunan, yaitu: (1) pemeliharaan kesejahteraan rakyat, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial; (2) peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia; (3) pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan keamanan nasional; (4) pemulihan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi; dan (5) peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim.

[6] Dalam studi Java Collapse yang telah dilakukan sebelumnya oleh WALHI (2007), collapse diartikan sebagai proses penurunan kualitas manusia dan kemampuan alam yang diakibatkan oleh interaksi antara manusia dan alam yang saling memangsa (predasi) yang digunakan oleh penguasa dan pemodal untuk melanggengkan kekuasannya baik secara ekonomi maupun politik. inilah yang kemudian berdampak pada krisis, dan pada tahap berikutnya krisis yang terjadi yang terus berulang dan meluas dengan durasi waktu yang lebih panjang baik secara kuantitas maupun kualitas telah berimplikasi pada penurunan bertahan hidup rakyat, ketersingkiran rakyat dari ruang hidupnya bahkan berujung pada kematian.

[7] "With reference to Article 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights, the Government of the Republic of Indonesia declares that, consistent with the Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples, and the Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation Among States, and the relevant paragraph of the Vienna Declaration and Program of Action of 1993, the words "the right of self-determination" appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and can not be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity of sovereign and independent states."

[8] "The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provisions of article 29, paragraph 1 of this Convention and takes the position that any dispute relating to the interpretation or application of the Convention may only be submitted to arbitration or to the International Court of Justice with the agreement of all the parties to the dispute.“ (CEDAW)

[9] "The Government of the Republic of Indonesia does not consider itself bound by the provision of Article 22 and takes the position that disputes relating to the interpretation and application of the [Convention] which cannot be settled through the channel provided for in the said article, may be referred to the International Court of Justice only with the consent of all the parties to the dispute.“ (ICERD)

[10] Marcus Colchester, Patrick Anderson, Norman Jiwan, Andiko and Su Mei Toh, 2009, HCV and the RSPO.......: report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value zoning in palm oil development in Indonesia. Forest Peoples Programme, HuMA, SawitWatch and WildAsia, Moreton-in-Marsh.